Aku sudah katakan semuanya
pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. Hingga akhirnya datanglah surat
yang berwarna biru sendu, di akhir
desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik
tangan ?.
Barangkali mungkin ini belum
terlambat, akupun berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah
berada di depanku.
”Aku belum tahu tentang arti
suratmu itu,, Rin ? “. Tanyaku,
moga dia masih mau mendengarku..
“Udah, aku pikir – pikir
matang-matang, Yan “ jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. Betapa aku tidak
mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas
pnggang. Namun dibalik keindahan
wajahnya, tersembunyi hati yang keras
sekeras batu karang di lautan.
“Mengapa,
apakah ini sebuah kesalahan. Aku
sudah coba semampuku untuk lebih mengertimu.
Aku manusia biasa lho Rin, apalah
artinya Septian ? “ . Aku mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud
perpisahan ini. Namun Arini hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi
menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan
ketidaktahuanku.
“Ayo dong Rin, beri aku
penjelasan ! “. Sekali lagi aku coba, mungkin
ini kata-kataku yang terakhir kali.
”Apa kamu bener –bener mencintai
aku, Yan ? ”.
”Mengapa itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup
waktu 4 tahun aku disampingmu
”Aku minta tolong , Yan !. Bila
ini sebuah cinta, jauhi aku Yan, Pergilah
kamu sejauh mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” .
Tak terdengar lagi suara Arini
bersamaan dengan dirinya yang
meninggalkan aku begitu saja di ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu
yang berwarna hijau lumut.
Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu
akupun melangkah pergi, sempat mungkin
yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini.
Masih terlihat Mama dan Papa
Arini di beranda rumah dengan pandangan kosong, seakan ikut menyesal dengan
sikap Arini. Saat itu juga degup jantung
ini menjadi bertambah binal memburu hati
yang kosong tak berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada
Arini.
Seperti juga manusia lainnya
yang belum mampu menundukan kehidupan ini,
akupun bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan. Panas
dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur melegam. Inikah
kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini
demi kebahagiaan Arini.
Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku
terima. Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun
dibalik itu semua tersimpan hikmah yang
begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri
ini.
Sang waktulah yang setia
mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini, hingga hari berganti
bulan dan datanglah waktu hampir satu
tahun . Sudut hatku telah kosong .tiada
lagi bunga yang aku tanam untuk
Arini. Hingga datanglah surat dari Arini
tentang sebuah kata maaf yang dia tulis
dari rumah sakit.
Ini bukan cinta lagi yang akan aku berikan kepada
Arini, bila toh dia membutuhkan aku lagi, karena hatiku telah mengeras. Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama
kali masuk SMA. Kini dia terbaring
lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi.
Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini
hanyalah tatapan kosong untuk menerima
kenyataan ini.
Sebuah kanker ganas telah
menyerang lambungnya dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di
operasi. Menurut keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang
terakhir kali, namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan
batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali
ini menyangkut hidup dan matinya Arini.
” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” .
Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata.
”Kamu tetap Arini,
meskipun apapun yang terjadi ”. Hati
yang tadinya mengeras melebihi batu
karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup
Arini
”Maafin aku ya Yan, tentang
perpisahan kemarin ”. Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat
inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi
wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin
bisa membesarkan hatinya.
”Aku tidak pernah merasakan
perpisahan denganmu, kau tetap Ariniku ”
” Benar, Yan ”
” Sungguh ”
” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ”
” Tapi keadaanku begini, Yan ”
”Tapi, kau tetap Arini ”
” Ah...Betapa kejamnya aku,
telah meminta perpisahan ini, Yan.
Aku salah menilai Mas Daniel yang
kala itu menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah
meninggalkan aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ”
” Arini ! , selama kita masih disebut manusia, kita
tentunya masih bisa berbuat salah ”
” Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !,
aku minta kau menungguiku ”
” Tentu Rin, sekarang
beristirahatlah ”
Waktu menunjukan tepat jam 5
sore, tim dokter sudah berada di ruangan operasi untuk
menyiapkan operasi besar. Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi tangan Arini tidak lepas dari genggamanku.
Sebuah doa aku panjatjan kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi
kehilangan sebilah cinta untuk yang
kedua kali.
” Yan, jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah pesan terahir dari Arni ketika
menghadapi hidup dan mati.
” Tentu, Rin, aku akan tetap
menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”.
Aku hanya berjalan
mondar-mandir untuk menutup rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi
berlangsung. Aku terperanjat kaget
ketika tim dokter telah meninggalkan ruangan
pertanda bahwa operasi berlangsung.
Seketka itu juga aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.
Dengan senyum yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya
menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti
warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan
tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang
hidupku hampir tak berujung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar