Lydia semakin acuh saja, saban aku lekatkan
lagi hati ini. Namun semua itu bisa aku tepiskan, lantaran aku laki laki yang dikodratkan
untuk tegar dalam menghadapi kehidupan. Entahlah kehidupan macam apa yang
seperti ini. Kata hati seperti ini saja
yang mampu selalu aku benamkan dalam telaga hatiku yang berair jingga, hanya
itu pula yang menjadi kekuatanku dalam menggapai angin sejuk yang akan aku
sinari cahaya bulan dalam keranjang hati ini.
Dalam keranjang hati yang bersulam kain
sutra selembut anganku, dalam sentuhan angina kemarau di senja hari. Selalu aku
sertakan Lydia
dengan sejuta sayapnya untuk terbang mengitari langit misteri, bermega jernih.
Namun akupun tiada pernah meluruhkan sayapku kala rona wajah Lydia menjadi masam, berlembayung
hitam dan nampak mengusung keragu-raguan. Inilah sebuah hasrat dariku Lydia,
inilah kala sebuah hati harus menerjang tebing tebing tinggi yang menjadi pagar
taman bunga. Namun sekokoh apapun sebuah pagar, tidak akan mampu menahan gelora
Ombak Laut Selatan yang memiliki seribu tangan untuk menerkamnya.
Lydia masih saja menatap angkuh pada
gambaran halaman hatiku, nampaknya apa yang ada di hatinya betul betul terkemas
dalam batu pualam yang kokoh dan dikungkung seribu misteri.
“Lydia lihatlah dalam keranjang ini, lembutnya kain sutra tidak selembut hatimu dan
lihatlah pula bulan telah memberikan seberkas cahyanya untuk diri kamu “
“Herlin terjanglah gunung es jauh di
depanmu, tak kan mampu kau mendapatkan keranjang itu. Arti sebuah persahabatan
bagiku, perlu kamu simpan rapat dalam kantong bajumu “. Lydia membisikan sendu sedanya itu dekat
telingaku.Hingga aku tak kuasa lagi untuk meneruskan tidurku lagi. Bergegaslah
aku tepis mimpi itu di tengah malam yang
terpagut sepi. Nampaknya hanya malam saja yang bisa menjadi wujud untuk berbagi
meradangnya hati, sehingga aku jaga malam itu dari terkaman fajar. Namun
malampun harus bergegas pergi.
Hanya eksotis wajah pagi saja yang masih
berminat menemaniku, dengan ocehan burung kenari di dahan pohon rambutan.
Sekali sekali terdengar juga burung nuri yang ikut nimbrung simponi alam ini. Pagi ini pula yang memberiku sebuah ide
cemerlang, di tengahnya hati yang membujur dingin. Entah kekuatan apa yang
membuat aku mau meluncur ke rumah Lydia minggu pagi ini. Ataukah selaksa malaikat yang terjelmakan dari hasrat
hatiku yang melemparkan aku ke tengah gedung loji milik keluarga besar Lydia
yang berada di tengah Kota Semarang.
Namun kaki ini belum sempurna betul
menyentuh pijakan bumi, kala aku harus melewati wajah wajah berselimut aneh
menatapku asing, manusia manusia berpakaian perlente memenuhi halaman rumah
Lydia yang luas berlantai rumput halus, disela-sela pohon palm dan pot pot
bunga besar. Mereka mengelilingi Om Bernhard papinya Lydia entah berniat apa mereka
berkumpul di sini. Oh Tuhan mengapa harus hari ini aku ke rumah Lydia, yang dapat aku lakukan hanya mengutuk diriku
sendiri.
***
“Mohon maaf, apakah sudah ada appointment
dengan Tuan Benhard“. Tanya seorang berbadan tinggi besar dan mengenakan jas
dengan dasi yang panjang hingga ke pusarnya. Anehnya orang ini bertanya dengan
wajah bersungut sungut, bagaikan manusia
yang dibuat dari mesin, tanpa memiliki hati barang sedikitpun. Bukankah ini
Kota Semarang yang masih kental dengan nila kesantunan. Lantas apakah Lydia
bersedia menemuiku bila berada di lingkungan seperti ini. Tapi memang aku yang
tolol, bukankah Lydia
tidak pernah bergaul sembarangan di kampus, yang sama sekali tidak pernah menorehkan
sebuah senyumanpun pada aku kala berjumpa di kampus. Mengapa sekarang aku di
rumahnya. Atau lantaran senyum Lydia
kala menghiasi wajah yang melangkonis ini, dengan penampilan yang selalu serasi
dengan kulit tubuhnya yang kuning
langsat yang tidak mudah kulupakan.
Lantas mengapa pula Lydia sering minta
tolong aku untuk ngerjain soal soal mekanika tehnik, kala kita satu kelas
belajar bersama di perpustakaan. Bukankah aku juga berhak mengenalnya lebih
dekat. Mengapa pula dia tidak pernah cerita kalau di putri seorang pebisnis
besar. Sedangkan aku hanya anak seorang wartawan daerah dan penulis yang tidak
seberapa mutu tulisanya. Namun papikupun terus membanggakan dirinya semata agar
putra putra, termasuk aku mampu hidup dengan mandiri.
“Oh, maaf aku hanya teman satu kampus Lydia”
“Maaf tuan, Lydia hari ini sibuk sekali. Dia
sebentar lagi memberi presentasi tentang rancangan Fly Over “
“Oh, maaf apakah dia mampu ?”
“Tuan ini siapa ?. Bicara tuan sangat
merendahkan Tuan Lydia.
Maaf tuan segera pergi dari tempat ini. Terus terang kedatangan tuan tidak
dikehendaki Tyan Benhard “.
“Sebentar lagi aku akan pergi, memang ini
bukan dunia saya. Tapia kun kasihan sama Lydia barangkali dia mengalami
kesulitan dalam materi mekanika tehnik dan konstruksi beton. Tuan, Lydia
sering bertanya padaku masalah out di kampus. Cobalah hubungi dia dulu “
“Baik tuan, untuk kali ini saja tuan saya
beri kesempatan. Bila Non Lydia tidak bersedia, tuan, enyahlah dari rumah ini
dan jangan ganggu Non Lydia lagi.
Suara pintu tebal dari kayu jati mengagetkan
kedua laki laki itu, kala dengan terburu Lydia membuka pintu itu. “Sukurlah
Herlin aku sangat membutuhkan kamu “. Tangan Lydia segera melilit bahu Herlian dan segera menariknya menuju
ruang kerjanya di pojok ruang tamu yang ditata dengan ornemen dan lay out model
Jerman.
“Apa apaan Lydia, kamu udah gila ?”
“Masa bodoh, aku sudah nggak punya waktu
lagi. Satu jam lagi papa menyuruhku presentasi. Aku masih banyak menemui
kesulitan. Tolong Herlian aku minta bantuanmu”
“Tentang apa ?”
“Mekanika tehnik untuk rancangan Fly Over di
Kota Semarang “
“Jadi proyek besar dong Lydia ?”
“Ah itu nanti, sekarang lihatlah gambar
ini.Tolong kamu analisa ini”
“Baik, kalau itu mah yang paling aku
senangi. Maka aku mendapat nilai A untuk ini “
“Oh, ya. Kamu tahu dari mana aku mau
presentasi”
“ Aku asal asalan saja ,main. Aku tadi naik
BRT, aku punya rencana minggu ini main ke rumah temen 2x, termasuk kau Lydia “
Lydia hanya diam membisu, sebentar sebentar
pandangan matanya tertuju pada cowok udik yang nggak ngerti gaul dan hidup apa
adanya, tapi pinternya minta ampun. Hari hari biasanya di kampus, cowok ini kelihatan biasa biasa saja. Lantaran
dandanan dan sikapnya yang nggak ngerti gaul. Tapi kala Lydia tidak sengaja mengamati
keseriusan cowok ini dalam melakukan analisa. Lydiapun telah mengakui bahwa
kegantengan Adipati Karna, tokoh dunia pewayangan kini berada di depanya.
Bukankah Herlian berambut ikal bergelombang
dan hitam dengan hidung mancung dan bibir yang tipis. Dan lagi postur tubuhnya
yang ideal bila bersanding denganya, apanya yang kurang dengan cowok itu, tapi
dekilnya memang membuat Lydia selama ini mengabaikan dia. Lydia merasakan
sesuatu yang tidak adil, bila selama ini dia hanya minta tolong menyelesaikan
tugas dan ujian semester. Tentang
kelembutan cowok ini Lydiapun telah
mengakuinya.
Lydiapun sekarang dengan tangkas dan
mempesona memberikan presentasi rancangan konstruksi proyek papinya di depan
hadirin. Sebentar sebentar mata yang indah dan bulat itu selalu memberikan
sorotnya pada Herlian yang dipaksa ikut presentasi Lydia itu. Seakan akan Herlianlah
yang sekarang menjadi konsultan
megakonstruksi proyek besar di Kota Semarang. Sudah barang
tentu kehadiran Herlian sekarang
menambah pdnya.
“Herlian, terimakasih sekali kamu telah
memberikan advice konstruksi ini, dan papapun kelihatanya puas dengan ide
ideku, yang sebenarnya adalah ide kamu.
Aku nggak ngeti Lian, mengapa justru kamu datang saat aku membutuhkanmu. Aku
dari pagi mencari no Hpmu, tapi nggak ketemu, dan alamat rumahmu apalagi..”
“Ah, hal kaya gitu biasa aja Lyn, nggak ada
yang istimewa. Hari udah siang aku mau pulang. Sampai ketemu lagi besok di
kampus “
“Ntar aku antar kamu pulang sekalian aku
pengin tahu alamatmu. Trimakasih ya Lyan..” .Lydia tak meneruskan kata katanya.
Karena bibirnya kini sudah memagut bibir cowok udik ini, bagai ular kobra yang
mematuk mangsanya.
“Aku nggak pernah menerima biasa menerima
ciuman kaya gini, Lydia ?”
“Herlian…!!! ” Lydiapun tambah manja
dipelukan Herlian, yang kini sudah tidak canggung lagi. Tapi Herlian telah lama
menghadirkan gadis manja itu di hatinya, hanya saja sikap cowok ini tidak
eksotis dalam meabuhkan cintanya. Maka Herlianpun segera menyurutkan hasrat
penuh gairah itu. Karena yang dia inginkan dari Lydia adalah segalanya, bukan hanya
gairah cinta anak ingusan.
“Herlian …mengapa ?”
“ Kamu cantik Lydia, kamu segalanya. Suatu
saat kitapun saling memiliki “
“Maafkan aku ya Herlian”
Herlian hanya memberikan senyuman yang mampu
memberikan keteduhan bagi hati Lydia. Kedua remaja kinipun bergandengan tangan
menemui papanya Lydia,
lantaran sudah saatnya Herlian pamit. Om Bernhard menjadi kagum dengan
kemampuan anak muda sekarang, yang jauh dengan masa mudanya dulu, yang hanya
bisa berjuang menegakan nasionalisme dijaman revolusi dahulu. Sekarang jaman
sudah berubah, yang sangat diperlukan adalah lahirnya The Smart Generation
seperti mereka berdua.
“Lydia sayang, apa kamu sudah lama kenal
Herlian “
“Sudah pap, Cuma Herlian agak pemalu jadi
baru kali ini berani main ke rumah”
“Oh, begitu. Selamat jalan Herlian, besok
besok jangan sungkan-sungkan main kesini !’
“Tentu, Om ! “.
Keduanya kini meluncur dengan mobil warna
merah metallik, menelusuri jalan jalan kota Semarang yang dipagari tanaman
bunga warna warni, kini keranjang yang tak layak telah berisi sinar bulan yang
menerangi hati Herlian yang tadinya gelap mencekam. Keranjang itu pula kini
berenda benang sutra yang halus dan lembut. Kedua remaja inipun kini
menembus kegelapan Kota Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar