Kamis, 01 November 2012

Bulan dalam Keranjang Sutra



Lydia semakin acuh saja, saban aku lekatkan lagi hati ini. Namun semua itu bisa aku tepiskan, lantaran aku laki laki yang dikodratkan untuk tegar dalam menghadapi kehidupan. Entahlah kehidupan macam apa yang seperti ini. Kata hati  seperti ini saja yang mampu selalu aku benamkan dalam telaga hatiku yang berair jingga, hanya itu pula yang menjadi kekuatanku dalam menggapai angin sejuk yang akan aku sinari cahaya bulan dalam keranjang hati ini.

Dalam keranjang hati yang bersulam kain sutra selembut anganku, dalam sentuhan angina kemarau di senja hari. Selalu aku sertakan Lydia dengan sejuta sayapnya untuk terbang mengitari langit misteri, bermega jernih. Namun akupun tiada pernah meluruhkan sayapku kala rona wajah Lydia menjadi masam, berlembayung hitam dan nampak mengusung keragu-raguan. Inilah sebuah hasrat dariku Lydia, inilah kala sebuah hati harus menerjang tebing tebing tinggi yang menjadi pagar taman bunga. Namun sekokoh apapun sebuah pagar, tidak akan mampu menahan gelora Ombak Laut Selatan yang memiliki seribu tangan untuk menerkamnya.

Lydia masih saja menatap angkuh pada gambaran halaman hatiku, nampaknya apa yang ada di hatinya betul betul terkemas dalam batu pualam yang kokoh dan dikungkung seribu misteri.

“Lydia lihatlah dalam keranjang ini,  lembutnya kain sutra tidak selembut hatimu dan lihatlah pula bulan telah memberikan seberkas cahyanya untuk diri kamu “

“Herlin terjanglah gunung es jauh di depanmu, tak kan mampu kau mendapatkan keranjang itu. Arti sebuah persahabatan bagiku, perlu kamu simpan rapat dalam kantong bajumu “. Lydia membisikan sendu sedanya itu dekat telingaku.Hingga aku tak kuasa lagi untuk meneruskan tidurku lagi. Bergegaslah aku tepis mimpi  itu di tengah malam yang terpagut sepi. Nampaknya hanya malam saja yang bisa menjadi wujud untuk berbagi meradangnya hati, sehingga aku jaga malam itu dari terkaman fajar. Namun malampun harus bergegas pergi.

Hanya eksotis wajah pagi saja yang masih berminat menemaniku, dengan ocehan burung kenari di dahan pohon rambutan. Sekali sekali terdengar juga burung nuri yang ikut nimbrung simponi alam  ini. Pagi ini pula yang memberiku sebuah ide cemerlang, di tengahnya hati yang membujur dingin. Entah kekuatan apa yang membuat aku mau meluncur ke rumah Lydia minggu pagi ini. Ataukah  selaksa malaikat yang terjelmakan dari hasrat hatiku yang melemparkan aku ke tengah gedung loji milik keluarga besar Lydia yang berada di tengah Kota Semarang.

Namun kaki ini belum sempurna betul menyentuh pijakan bumi, kala aku harus melewati wajah wajah berselimut aneh menatapku asing, manusia manusia berpakaian perlente memenuhi halaman rumah Lydia yang luas berlantai rumput halus, disela-sela pohon palm dan pot pot bunga besar. Mereka mengelilingi Om Bernhard papinya Lydia entah berniat apa mereka berkumpul di sini. Oh Tuhan mengapa harus hari ini aku  ke rumah Lydia,  yang dapat aku lakukan hanya mengutuk diriku sendiri.

***
“Mohon maaf, apakah sudah ada appointment dengan Tuan Benhard“. Tanya seorang berbadan tinggi besar dan mengenakan jas dengan dasi yang panjang hingga ke pusarnya. Anehnya orang ini bertanya dengan wajah bersungut sungut,  bagaikan manusia yang dibuat dari mesin, tanpa memiliki hati barang sedikitpun. Bukankah ini Kota Semarang yang masih kental dengan nila kesantunan. Lantas apakah Lydia bersedia menemuiku bila berada di lingkungan seperti ini. Tapi memang aku yang tolol, bukankah Lydia tidak pernah bergaul sembarangan di kampus, yang sama sekali tidak pernah menorehkan sebuah senyumanpun pada aku kala berjumpa di kampus. Mengapa sekarang aku di rumahnya. Atau lantaran senyum Lydia kala menghiasi wajah yang melangkonis ini, dengan penampilan yang selalu serasi dengan kulit tubuhnya yang  kuning langsat  yang tidak mudah kulupakan.

Lantas mengapa pula Lydia sering minta tolong aku untuk ngerjain soal soal mekanika tehnik, kala kita satu kelas belajar bersama di perpustakaan. Bukankah aku juga berhak mengenalnya lebih dekat. Mengapa pula dia tidak pernah cerita kalau di putri seorang pebisnis besar. Sedangkan aku hanya anak seorang wartawan daerah dan penulis yang tidak seberapa mutu tulisanya. Namun papikupun terus membanggakan dirinya semata agar putra putra, termasuk aku mampu hidup dengan mandiri.

“Oh, maaf aku hanya teman satu kampus Lydia”
“Maaf tuan, Lydia hari ini sibuk sekali. Dia sebentar lagi memberi presentasi tentang rancangan Fly Over 
“Oh, maaf apakah dia mampu ?”
“Tuan ini siapa ?. Bicara tuan sangat merendahkan Tuan Lydia. Maaf tuan segera pergi dari tempat ini. Terus terang kedatangan tuan tidak dikehendaki Tyan Benhard “.
“Sebentar lagi aku akan pergi, memang ini bukan dunia saya. Tapia kun kasihan sama Lydia barangkali dia mengalami kesulitan dalam materi mekanika tehnik dan konstruksi beton. Tuan, Lydia sering bertanya padaku masalah out di kampus. Cobalah hubungi dia dulu “

“Baik tuan, untuk kali ini saja tuan saya beri kesempatan. Bila Non Lydia tidak bersedia, tuan, enyahlah dari rumah ini dan jangan ganggu Non Lydia lagi.

Suara pintu tebal dari kayu jati mengagetkan kedua laki laki itu, kala dengan terburu Lydia membuka pintu itu. “Sukurlah Herlin aku sangat membutuhkan kamu “. Tangan Lydia segera melilit  bahu Herlian dan segera menariknya menuju ruang kerjanya di pojok ruang tamu yang ditata dengan ornemen dan lay out model Jerman.

“Apa apaan Lydia, kamu udah gila ?”
“Masa bodoh, aku sudah nggak punya waktu lagi. Satu jam lagi papa menyuruhku presentasi. Aku masih banyak menemui kesulitan. Tolong Herlian aku minta bantuanmu”
“Tentang apa ?”
“Mekanika tehnik untuk rancangan Fly Over di Kota Semarang “
“Jadi proyek besar dong Lydia ?”
“Ah itu nanti, sekarang lihatlah gambar ini.Tolong kamu analisa ini”
“Baik, kalau itu mah yang paling aku senangi. Maka aku mendapat nilai A untuk ini “
“Oh, ya. Kamu tahu dari mana aku mau presentasi”
“ Aku asal asalan saja ,main. Aku tadi naik BRT, aku punya rencana minggu ini main ke rumah temen 2x, termasuk kau Lydia “

Lydia hanya diam membisu, sebentar sebentar pandangan matanya tertuju pada cowok udik yang nggak ngerti gaul dan hidup apa adanya, tapi pinternya minta ampun. Hari hari biasanya di kampus,  cowok ini kelihatan biasa biasa saja. Lantaran dandanan dan sikapnya yang nggak ngerti gaul. Tapi kala Lydia tidak sengaja mengamati keseriusan cowok ini dalam melakukan analisa. Lydiapun telah mengakui bahwa kegantengan Adipati Karna, tokoh dunia pewayangan  kini berada di depanya.

Bukankah Herlian berambut ikal bergelombang dan hitam dengan hidung mancung dan bibir yang tipis. Dan lagi postur tubuhnya yang ideal bila bersanding denganya, apanya yang kurang dengan cowok itu, tapi dekilnya memang membuat Lydia selama ini mengabaikan dia. Lydia merasakan sesuatu yang tidak adil, bila selama ini dia hanya minta tolong menyelesaikan tugas dan ujian semester.  Tentang kelembutan cowok ini Lydiapun  telah mengakuinya.

Lydiapun sekarang dengan tangkas dan mempesona memberikan presentasi rancangan konstruksi proyek papinya di depan hadirin. Sebentar sebentar mata yang indah dan bulat itu selalu memberikan sorotnya pada Herlian yang dipaksa ikut presentasi Lydia itu. Seakan akan Herlianlah yang  sekarang menjadi konsultan megakonstruksi proyek besar di Kota Semarang. Sudah barang tentu  kehadiran Herlian sekarang menambah pdnya.

“Herlian, terimakasih sekali kamu telah memberikan advice konstruksi ini, dan papapun kelihatanya puas dengan ide ideku,  yang sebenarnya adalah ide kamu. Aku nggak ngeti Lian, mengapa justru kamu datang saat aku membutuhkanmu. Aku dari pagi mencari no Hpmu, tapi nggak ketemu, dan alamat rumahmu apalagi..”

“Ah, hal kaya gitu biasa aja Lyn, nggak ada yang istimewa. Hari udah siang aku mau pulang. Sampai ketemu lagi besok di kampus “
“Ntar aku antar kamu pulang sekalian aku pengin tahu alamatmu. Trimakasih ya Lyan..” .Lydia tak meneruskan kata katanya. Karena bibirnya kini sudah memagut bibir cowok udik ini, bagai ular kobra yang mematuk mangsanya.
“Aku nggak pernah menerima biasa menerima ciuman kaya gini, Lydia ?”
“Herlian…!!! ” Lydiapun tambah manja dipelukan Herlian, yang kini sudah tidak canggung lagi. Tapi Herlian telah lama menghadirkan gadis manja itu di hatinya, hanya saja sikap cowok ini tidak eksotis dalam meabuhkan cintanya. Maka Herlianpun segera menyurutkan hasrat penuh gairah itu. Karena yang dia inginkan dari Lydia adalah segalanya, bukan hanya gairah cinta anak ingusan.
“Herlian …mengapa ?”
“ Kamu cantik Lydia, kamu segalanya. Suatu saat kitapun saling memiliki “
“Maafkan aku ya Herlian”

Herlian hanya memberikan senyuman yang mampu memberikan keteduhan bagi hati Lydia. Kedua remaja kinipun bergandengan tangan menemui papanya Lydia, lantaran sudah saatnya Herlian pamit. Om Bernhard menjadi kagum dengan kemampuan anak muda sekarang, yang jauh dengan masa mudanya dulu, yang hanya bisa berjuang menegakan nasionalisme dijaman revolusi dahulu. Sekarang jaman sudah berubah, yang sangat diperlukan adalah lahirnya The Smart Generation seperti mereka berdua.

“Lydia sayang, apa kamu sudah lama kenal Herlian “
“Sudah pap, Cuma Herlian agak pemalu jadi baru kali ini berani main ke rumah”
“Oh, begitu. Selamat jalan Herlian, besok besok jangan sungkan-sungkan main kesini !’
“Tentu, Om ! “.

Keduanya kini meluncur dengan mobil warna merah metallik, menelusuri jalan jalan kota Semarang yang dipagari tanaman bunga warna warni, kini keranjang yang tak layak telah berisi sinar bulan yang menerangi hati Herlian yang tadinya gelap mencekam. Keranjang itu pula kini berenda benang sutra yang halus dan lembut. Kedua remaja inipun kini menembus  kegelapan Kota Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar