Sebaiknya bila engkau punguti
catatan harian, yang terselip di sudut langit
biru. Tentunya akan kau temukan sesuatu yang di tengahnya aku gambari
lukisan tentang keindahan. Sebagai
ungkapan tentang aku yang akan merindumu.
Sudahkah jiwa ini yang telah engkau
telanjangi dengan rayuan merdumu. Telah pula engkau buatkan penyejuk untuk
melepas lelahku. Oh…alangkah jauh perjalanan ini. Sudahlah kembang kertas ini
engkau sulami dengan warna-warni hasrat.
Maukah engkau tunjukan mana yang bisa engkau nyanyikan.
Malam aku tempuh dengan keluhan
nafas yang berat, karena terpagut dengan langkah yang tertinggal. Bila engkau mencoba, mungkin kau akan tergambar pada ufuk esok
pagi. Oh. . . cakrawalamu . sudahkah
berhias sinar mentari pagi. Sudahlah
!, untuk sementara biar aku genggam haru birumu, menyertai perahu
hasratku yang kandas di keangkuhanmu.
Kupadukan antara hasrat, kagum dan
beribu asa. Menjadi secawan hiasan hidup yang dinamakan cinta.
Kulukis di tiap dinding hatiku, yang belum pernah kau gantungkan denting kemesraan
Atau
mungkin diriku yang belum mengerti yang mana tempatmu singgah, dimana engkau
sembunyikan pesona hidup ini, atau mungkin lebih jelas bila kusodorkan cinta. Agar hatimu
mau meneguk kejernihan hatiku.
“Engkaulah
bunga sejuta harapku, adakah sisa hatimu untuku ? “ demikian aku coba bertanya pada
hati ini.
“Lantas dimana kau simpan hatimu,
yang belum terisi sejuta keindahan “ jawab sebuah hati yang entah tersembunyi
di mana.
“Bila engkau mau
merinduku, lalu akan kamu apakan jiwa yang menggelepar ini ?, sedangkan bayang
wajahnya terus saja terbujur kaku di mimpiku” terus saja suara dinding
hatiku bergeliat.
“Mampukah engkau menyusun puisi
hidup, tentang irama keindahan cinta. Jangan kamu kagumi wajahku, jangan kau kagumi
dengan betis atau bibir merah delimamu. Kagumilah aku yang terus telanjang
menantikan arti hidup ini “ jawab dinding waktu yang sekarang entah berdiri di
mana.
Aku
tersentak kaget dari tidurku. Terdapat selembar gambaran wajahmu yang tiba-tiba
muncul, tanpa aku duga darimana arah kedatanganmu. Lantas aku sertakan engkau, untuk meniti perjalanan pagi. Kala
itu beberapa saat yang silam akupun belum tahu, bahwa telah terselip dalam
hatiku tentang keindahanmu. Belum ada di bagian manapun di hati ini, yang ingin tahu lebih jauh tentang dirimu.
Namun
berulang kali dentang jam dinding yang berjalan secepat kilat, menyambar
keinginanku yang menggumpal dan terus menggumpal. Sehingga mendesak jantung
hatiku dan menyesakan dada, mengapa belum ada perahu hasrat yang berlabuh di pantai
hatimu
Tentunya
bila aku sodorkan sebuah cinta untukmu, Engkaupun akan mengepakan sayapmu,
menuju cakrawala, yang entah akan menggelantung di langit sebelah mana. Namun
kembali lagi jarum waktupun terus
mengejarku, agar bulan dengan seribu panorama, yang terpancar dari senyumu,
tiba-tiba saja tunduk dipangkuanku.
Bulan
kini masih tersembunyi di balik awan, dan akupun telah berada tepat di depanmu.
Entahlah aku sendiri telah menguatkan hati yang tadinya hanya mampu bernyanyi
sepi. Namun kini hatipun telah aku siapkan, hingga mampu menjadi telaga tempat
aku berpuas diri.
Kusapa
dan engkaupun tetap menyisakan senyumu, laksana sebuah permintaan agar bulan
setidaknya mau mengintip di langit malam. Untuk menyaksikan aku yang hendak menuangkan hasrat kepada
kekasih hati, yang kini berada di depanku.\
Kuberikan
juga sepenggal asa agar kita berdua menghiasi biduk dengan ornament yang
sederhana. Mengarungi lautan biru, dengan ombak yang akan menguatkan kedua sisi
biduk kita. Tentunya pula akan kau gapai, bila memang harus kutemui bulan tepat
di atas tempat kita mendirikan rumah mungil tapi bersih. Dan pada giliranya
rona sinar bulan akan menjadi senyumu.
Hari
demi hari, tentunya dandanan hidup akan lebih semarak. Bila engkau tiada pernah
bosan untuk menyirami kembang – kembang taman yang ada di pekarangan rumah
mungil kita. Bila telah ada pula tautan
hati diantara kita untuk sekedar merobahkan tubuh kita yang penat.
“Jangan
kau biarkan halaman depan rumahmu dipenuhi debu sore hai, yang dibawaoleh angin
kembara yang nakal hai. . .kau wanita
tambatan hati “ demikian ungkap kembang
mawar di sudut halaman.
Sedangkan
kembang melati juga tak kalah lantangnya untuk meneriaki wanita yang ada di
dalam rumah mungil itu, “ Jangan kau pernah ragukan secawan cinta suci dari
pria yang akan membawamu mengepakan sayapmu menuju biru langit.
Sekali-sekali
kembang kenanga juga ingin nimbrung bareng dengan kebahagian kembang-kembang
sore yang telah basah disiram air sejuk, yang dijinjing wanita yang berkulit
kuning dan bersih,
“ Jangan kau harap akan mampu
menggenapi hidup ini, bila dalam hatimu masih ada sisa ketidak- tulusan. Mungkin
pula engkau bisa menipu dirimu sendiri, namun sorot mata adalah sesuatu yang
tidak bisa diajak berbohong. Maka benahi rumah mungilmu, agar sepanjang malam
engkau mampu berdandan ayu “.
“Efinta
!, inilah rumah mungilmu, apabila engkau selalu menatanya dengan optimis, maka
tentunya dinding dan atapnya tidak akan runtuh walau digoyang gempa sekuat
apapun “.
Demikian
sempat aku bisikan pesanku dekat ketelinganya, saat bulan sudah mulai hadir di
atap rumah kita, agar cukup tangguh
maghligai bahtera ini, menghadapi ketidak pastian dunia ini. Bukankah telah cukup banyak rumah
mungil yang runtuh diterpa angin prahara keangkara-murkaan manusia yang tak
tahu diri ini. Bukankah pula banyak rumah
mungil, yang justru diisi dengan ornamen durjana, dari manusia yang
menajamkan nafsunya setajam pedang.
“Efinta bersihkanlah selalu kaca
jendela rumah mungil kita, agar kita bisa memandangi dengan transparan,
cakrawala di depan halaman. Sehingga kita tahu persis kemana langkah kaki akan kita
ayunkan “. Bulanpun sudah mulai mendekat di raut wajahmu.
“Benarkah
engkau pria yang selalu dekat denganku, benarkah itu “ ?. Kala itu bulanpun mulai merajuk, untuk
ditembangi dengan nyanyian bunga-bunga wangi. Untuk mengharumi ruang demi ruang
di rumah mungil ini.
“Efinta, aku hanya memiliki bagian hati, yang sebagian
untuk dengus nafasmu, dan separonya lagi hanya untuk rembulan yang kini sudah
menumpahkan keindahaan di kerling senyumu
”Lantas
semua ornament rumahpun telah menjadi saksi bisu, ketika dua hati mengucapkan
selamat malam pada rumah mungul ini, pada semua kembang pekarangan yang menata
rapi. Dua hatipun bergelora di dalam rumah mungil ini, untuk menghabiskan malam
panjang bersama rembulan, yang kini telah menjadi miliku,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar