Kamis, 01 November 2012

Terompet Tahun Baru 2013


Saat itu segala eksotis malam tahun baru tertumpahkan, terisyaratkan pada senyum tiap remaja yang menggaungkanya, detik yang bermetamorfosis ke dalam menit, jam, hari dan seterusnya  tak pernah menoleh ke belakang, bagaikan laju perahu yang merentangkan layarnya dihempas angin jaman. Kadang perahu yang kita lajukan menerjang ombak yang disodorkan badai, atau hanya riak kecil yang tidak pernah kita rasakan. Tidak pernah kita mencermatinya metamofosis waktu tersebut, hanya terompet saja yang menjadi pertanda kita telah melewati benang waktu genap satu tahun.

Sementara itu beribu potong nafas telah dihembuskan menyelinap ke terompet, untuk menyambut setiap tahun baru ini, baik di tengah kota, gang–gang kecil ataupun remang jalan jalan desa, Mereka menghamburkan nafas untuk melengkingkan terompet, seakan mereka bernafsu untuk merobohkan gedung beton yang kokoh. Apalagi saat detik pergantian waktu, terompet itupun menjadi sebuah makian panjang dari setiap  remaja, Meluapkan detik detik berharga agar mampu mengusung mereka terbang menuju langit. Ataukah hanya lelah dan dahaga saja, kala mereka tersihir dengan lengkengin terompet semalam suntuk, di sela taburan kembang api di langit hitam.

***Terompet kertas Windi yang berleher angsa, dengan variasi merah metallic dan warna pink di ujungnya, semalaman tidak pernah berhenti menyalak. Bersama dengan kegaduhan sokib sokibnya yang  seakan terjepit di tengah sang  malam yang tidak akan pernah berganti fajar.  Mereka semua larut di  “Teenager Café and Cake “,  yang khusus berdandan untuk tamu=tamunya di malam tahun baru,  café itupun menghias  diri dengan sepenuh hati, Ornamen yang melekat di dinding berarsitetur romawi hanya diam membisu dan maklum dengan kiprah remaja yang sedang keranjingan.

Windipun memerah pipinya  disertai dengan bola mata meredup, kala soundtrack film  pretty woman menyentaknya,  meski diputar dengan volume lembut namun mampu membentur udara malam di akhir Desember yang menusuk tulang. Beberapa sendok paella Spanyol   dan  pasta Italia  telah mengisi perutnya. Pipinya kini tambah memerah kala Albert Prakoso cowok satu kelas denganya lebih merapatkan duduknya seraya berbagi pasta  denganya.  Terompet Windi kinipun membisu seribu bahasa. Namun mata liarnya Windi sering kali dilemparkan pada Albert, sebagai  protes pada dirinya sendiri mengapa dia bereksotis dengan terompetnya di malam tahun baru ini, apa karena Albert yang mengajak dia le café ini, atau karena kini di hatinya hadir jalinan benang sutra warna warni.

Gelas  yang berisi Mokacino di tangan kanan Albert kini semakin mendingin,  gelas itupun kini hanya berisi separo, seakan tidak mau kompromi lagi dengan malam yang semakin egois, meski hati  cowok itu lebih panas dari bara api.  

Waktu kini membawa beberapa remaja gaul itu dekat dengan pergantian tahun,  semua pasang mata kini mengamati jam dinding bundar, yang melekat di dinding kekar dengan angkuhnya. Semua terompet kini mulai lagi menyalak riuh, dengan moncong terompet dihadapkan pada jam dinding  yang kuno tetapi artistic itu. Tiap pasang mata mulai bergairah mengawal pergantian tiap detik dan mencapai puncaknya saat jarum detik menyentuh angka 12. 

“Teeeeeet….teeet….teeeet “ terompet  Windi berteriak diantara lengkingan terompet tamu tamu café itu. Lengkingan terompet itu seakan sebuah teriakan  memvonis jam dinding yang beberapa saat ini menjadi pesakitan mereka semua. “Met tahun baru Albert !, selamat tahun baru teman teman !“, Windi mengangkat gelas yang berisi softdrink merah menyala, lantas menyentuhkan bibir merah alaminya dengan dinding gelas, disusul kemudian sebuah tiupan panjang terompet kertasnya seperti lengkingan manusia  srigala di malam bulan purnama.

“Met tahun baru Windi !” , sebuah sentuhan halus dari Albert, memenuhi semua pembuluh darah Windi dan kini menyelinap ke tengah bilik jantungnya, namun terompet yang eksotis miliknya, kini hanya dipegang di tangan kananya dan terompet itu menjadi tak berkutik lagi. Terompet Windi kini tidak mau mengurangi makna malam yang melangkonis,  kala Albert mengucapkan selamat tahun baru. Bahkan terompet mereka kini rela hanya rebah di atas meja hidangan bersanding dengan menu  Pad Thai Thailand. Kedua terompet itu menjadi saksi  adanya perhelatan hati kedua remaja gaul, santun sekaligus berprestasi di kelas masing masing. Maka kedua terompet itupun hanya mampu diam seribu bahasa.

Meski derai tawa dari teman teman sekelas Windi terus saja menepiskan dingin malam awal Bulan Januari yang mengusung gerimis panjang, namun hati kedua remaja itu seakan terkunci rapat rapat. Windi tak ubahnya seperti  ratu malam di tengah para “punggawa kraton”, sedangkan Albert seperti Pangeran dari negeri Anderson,  yang  baru saja menundukan sang ratu malam untuk bertekuk lutut di hadapanya.

“ Ayo dong!, kita habiskan Pad Thai ini, detik detik pergantian tahun telah kita lewati. OK friend !!!, kita tutup saja acara malam tahun baru ini” pinta Albert di sela hiruk pikuk mereka. Diantara mereka, ada uang tidak segera menyetujui usul Albert, mata mereka sudah terlanjur terpincingkan sejak sore tadi. Terompet merekapun belum jera berteriak nyaring.

‘Jangan ditutup dulu acara ini, sebelum kita nyanyi berpasangan dengan  doinya masing masing “ . Steven cowok kolokan, memang sengaja membuat acara surprise malam ini. Dia tidak mau acara malam tahun baru  berlalu begitu saja, karena malam tahun baru ini bagi mereka adalah perhelatan terakhir, sebelum mereka mengikuti UN semester depan. “Stev  jangan ngacau kamu, ah !” seru Hans yang berdampingan dengan Angela yang cuma mampu tersenyum tipis.

‘Albert !, mana Kate Midlletonmu?, ayo dong tampil ke depan. Kami ingin sebuah lagu dari the Prince and Queen malam ini”, pinta Hans yang tiba tiba saja menyeruak ke atas panggung, seraya mempersilakan pianis café untuk duduk di belakang pianonya. “Setujuuuu….teeeetttt” , bagaikan suara petasan lebaran yang meledak di tengah mereka. Terompet terompet tahun barupun mengkibaskan kertas warna warninya tanda mereka semua setuju, bila malam tahun baru ini adalah milik mereka berdua

“Piss, jangan itu dong !,aku nggak bisa nyanyi “ Rintihan Winda menggema, namun tidak ada satupun kontestan malam itu yang mendengarkan.

“Aduh tolong, dong !, yang lain saja aku nggak bisa nyanyi, piss dech !” Sama seperti Winda, Albertpun merintih di depan para algojo, yang tidak mau memberi ampunan barang sepotongpum kepada raja dan ratu malam itu. “Huuuuu…teeeeet” teriakan panjang menggema dan saling memantul antara dinding  Teenager Café and Cake. Albert dan Winda tidak mampu berbuat apaun, mereka diusung rame rame ke atas panggung. Beruntung sekali mereka berdua sama sama demen lagu nostalgia Endless Love , terkadang di dalam kelas, kala istirahat ataupun dimana saja mereka gabung, mesti lagu itu menjadi ikatan dua hati masing-masing.

Namun malam ini Endless Love , menjadi milik semua ABG gaul yang sedang ngumpul itu. Prince and Queen malam itu benar benar hadir ke hadapan mereka, terompet terompet itu kinipun hanya hening di tangan mereka. Terompet itu hanya mampu menggoyangkan badanya sesuai ritme lagu itu.

***

“Aku terkesan dengan malam tahun baru ini, Win !’. Winda tersenyum lembut, kebianalan sorot matanya kini meluruh kala dia kini hanya berdua dalam mobil Pajero. Entahlah, Winda merasakan ledua kakinya bagaikan ditelan bumi, tak mampu menggeliatkan badanya .

“Kalau kamu, bagaimana Win ?”

“Ah, aku biasa saja!” Sepotong jawaban yang sebenarnya berisi suatu keraguan, maka tenggorokanya Winda kini terasa kering.

“Terompetmu, nggak rusak, kan  Win?”

“Nggak, emangnya kenapa ?”

“Aku minta terompetmu untuk kusimpan dan bawalah terompetku”

“Untuk apa, Albert ?”

“Agar malam tahun baru tahun depan kita kembali merasakan sama seperti sekarang “

Winda tak mampu lagi bicara,  tapi kembali lagi  perasaan yang tidak dia mengerti kembali memenuhi hatinya. Windapun mendekap erat terompet Albert yang terbungkus kertas jingga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar