Saat itu segala eksotis malam tahun
baru tertumpahkan, terisyaratkan pada senyum tiap remaja yang menggaungkanya,
detik yang bermetamorfosis ke dalam menit, jam, hari dan seterusnya tak pernah menoleh ke belakang, bagaikan laju
perahu yang merentangkan layarnya dihempas angin jaman. Kadang perahu yang kita
lajukan menerjang ombak yang disodorkan badai, atau hanya riak kecil yang tidak
pernah kita rasakan. Tidak pernah kita mencermatinya metamofosis waktu tersebut,
hanya terompet saja yang menjadi pertanda kita telah melewati benang waktu
genap satu tahun.
Sementara itu beribu potong nafas
telah dihembuskan menyelinap ke terompet, untuk menyambut setiap tahun baru ini,
baik di tengah kota, gang–gang kecil ataupun remang jalan jalan desa, Mereka
menghamburkan nafas untuk melengkingkan terompet, seakan mereka bernafsu untuk merobohkan
gedung beton yang kokoh. Apalagi saat detik pergantian waktu, terompet itupun
menjadi sebuah makian panjang dari setiap remaja, Meluapkan detik detik berharga agar
mampu mengusung mereka terbang menuju langit. Ataukah hanya lelah dan dahaga
saja, kala mereka tersihir dengan lengkengin terompet semalam suntuk, di sela
taburan kembang api di langit hitam.
***Terompet kertas Windi yang berleher
angsa, dengan variasi merah metallic dan warna pink di ujungnya, semalaman
tidak pernah berhenti menyalak. Bersama dengan kegaduhan sokib sokibnya yang seakan terjepit di tengah sang malam yang tidak akan pernah berganti fajar. Mereka semua larut di “Teenager Café and Cake “, yang khusus berdandan untuk tamu=tamunya di
malam tahun baru, café itupun menghias diri dengan sepenuh hati, Ornamen yang
melekat di dinding berarsitetur romawi hanya diam membisu dan maklum dengan kiprah
remaja yang sedang keranjingan.
Windipun memerah pipinya disertai dengan bola mata meredup, kala soundtrack film pretty woman menyentaknya, meski diputar dengan volume lembut namun
mampu membentur udara malam di akhir Desember yang menusuk tulang. Beberapa
sendok paella Spanyol dan pasta
Italia telah mengisi perutnya. Pipinya kini
tambah memerah kala Albert Prakoso cowok satu kelas denganya lebih merapatkan
duduknya seraya berbagi pasta denganya. Terompet Windi kinipun membisu seribu bahasa.
Namun mata liarnya Windi sering kali dilemparkan pada Albert, sebagai protes pada dirinya sendiri mengapa dia
bereksotis dengan terompetnya di malam tahun baru ini, apa karena Albert yang
mengajak dia le café ini, atau karena kini di hatinya hadir jalinan benang
sutra warna warni.
Gelas yang berisi Mokacino di tangan kanan Albert kini
semakin mendingin, gelas itupun kini
hanya berisi separo, seakan tidak mau kompromi lagi dengan malam yang semakin
egois, meski hati cowok itu lebih panas
dari bara api.
Waktu kini membawa beberapa remaja
gaul itu dekat dengan pergantian tahun,
semua pasang mata kini mengamati jam dinding bundar, yang melekat di
dinding kekar dengan angkuhnya. Semua terompet kini mulai lagi menyalak riuh,
dengan moncong terompet dihadapkan pada jam dinding yang kuno tetapi artistic itu. Tiap pasang
mata mulai bergairah mengawal pergantian tiap detik dan mencapai puncaknya saat
jarum detik menyentuh angka 12.
“Teeeeeet….teeet….teeeet “
terompet Windi berteriak diantara lengkingan
terompet tamu tamu café itu. Lengkingan terompet itu seakan sebuah teriakan memvonis jam dinding yang beberapa saat ini
menjadi pesakitan mereka semua. “Met tahun baru Albert !, selamat tahun baru
teman teman !“, Windi mengangkat gelas yang berisi softdrink merah menyala, lantas
menyentuhkan bibir merah alaminya dengan dinding gelas, disusul kemudian sebuah
tiupan panjang terompet kertasnya seperti lengkingan manusia srigala di malam bulan purnama.
“Met tahun baru Windi !” , sebuah
sentuhan halus dari Albert, memenuhi semua pembuluh darah Windi dan kini
menyelinap ke tengah bilik jantungnya, namun terompet yang eksotis miliknya, kini
hanya dipegang di tangan kananya dan terompet itu menjadi tak berkutik lagi. Terompet
Windi kini tidak mau mengurangi makna malam yang melangkonis, kala Albert mengucapkan selamat tahun baru. Bahkan
terompet mereka kini rela hanya rebah di atas meja hidangan bersanding dengan menu
Pad
Thai Thailand. Kedua terompet itu menjadi saksi adanya perhelatan hati kedua remaja gaul,
santun sekaligus berprestasi di kelas masing masing. Maka kedua terompet itupun
hanya mampu diam seribu bahasa.
Meski derai tawa dari teman teman
sekelas Windi terus saja menepiskan dingin malam awal Bulan Januari yang
mengusung gerimis panjang, namun hati kedua remaja itu seakan terkunci rapat
rapat. Windi tak ubahnya seperti ratu
malam di tengah para “punggawa kraton”, sedangkan Albert seperti Pangeran dari
negeri Anderson, yang baru saja menundukan sang ratu malam untuk
bertekuk lutut di hadapanya.
“ Ayo dong!, kita habiskan Pad Thai ini, detik detik pergantian
tahun telah kita lewati. OK friend !!!, kita tutup saja acara malam tahun baru
ini” pinta Albert di sela hiruk pikuk mereka. Diantara mereka, ada uang tidak
segera menyetujui usul Albert, mata mereka sudah terlanjur terpincingkan sejak
sore tadi. Terompet merekapun belum jera berteriak nyaring.
‘Jangan ditutup dulu acara ini,
sebelum kita nyanyi berpasangan dengan doinya masing masing “ . Steven cowok kolokan,
memang sengaja membuat acara surprise malam ini. Dia tidak mau acara malam
tahun baru berlalu begitu saja, karena
malam tahun baru ini bagi mereka adalah perhelatan terakhir, sebelum mereka
mengikuti UN semester depan. “Stev
jangan ngacau kamu, ah !” seru Hans yang berdampingan dengan Angela yang
cuma mampu tersenyum tipis.
‘Albert !, mana Kate Midlletonmu?,
ayo dong tampil ke depan. Kami ingin sebuah lagu dari the Prince and Queen malam ini”, pinta Hans yang tiba tiba saja
menyeruak ke atas panggung, seraya mempersilakan pianis café untuk duduk di
belakang pianonya. “Setujuuuu….teeeetttt” , bagaikan suara petasan lebaran yang
meledak di tengah mereka. Terompet terompet tahun barupun mengkibaskan kertas
warna warninya tanda mereka semua setuju, bila malam tahun baru ini adalah
milik mereka berdua
“Piss, jangan itu dong !,aku nggak
bisa nyanyi “ Rintihan Winda menggema, namun tidak ada satupun kontestan malam
itu yang mendengarkan.
“Aduh tolong, dong !, yang lain
saja aku nggak bisa nyanyi, piss dech !” Sama seperti Winda, Albertpun merintih
di depan para algojo, yang tidak mau memberi ampunan barang sepotongpum kepada
raja dan ratu malam itu. “Huuuuu…teeeeet” teriakan panjang menggema dan saling
memantul antara dinding Teenager Café and Cake. Albert dan
Winda tidak mampu berbuat apaun, mereka diusung rame rame ke atas panggung. Beruntung
sekali mereka berdua sama sama demen lagu nostalgia Endless Love , terkadang di dalam kelas, kala istirahat ataupun
dimana saja mereka gabung, mesti lagu itu menjadi ikatan dua hati masing-masing.
Namun malam ini Endless Love , menjadi milik semua
ABG gaul yang sedang ngumpul itu. Prince
and Queen malam itu benar benar hadir ke hadapan mereka, terompet
terompet itu kinipun hanya hening di tangan mereka. Terompet itu hanya mampu menggoyangkan
badanya sesuai ritme lagu itu.
***
“Aku terkesan dengan malam tahun
baru ini, Win !’. Winda tersenyum lembut, kebianalan sorot matanya kini meluruh
kala dia kini hanya berdua dalam mobil Pajero. Entahlah, Winda merasakan ledua
kakinya bagaikan ditelan bumi, tak mampu menggeliatkan badanya .
“Kalau kamu, bagaimana Win ?”
“Ah, aku biasa saja!” Sepotong
jawaban yang sebenarnya berisi suatu keraguan, maka tenggorokanya Winda kini
terasa kering.
“Terompetmu, nggak rusak, kan Win?”
“Nggak, emangnya kenapa ?”
“Aku minta terompetmu untuk
kusimpan dan bawalah terompetku”
“Untuk apa, Albert ?”
“Agar malam tahun baru tahun depan
kita kembali merasakan sama seperti sekarang “
Winda tak mampu lagi bicara, tapi kembali lagi perasaan yang tidak dia mengerti kembali
memenuhi hatinya. Windapun mendekap erat terompet Albert yang terbungkus kertas
jingga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar