Selalu aku sambut mesra bila Camelia
berhasrat merengkuh apa yang menurutnya indah, yang selalu tersimpan di sudut
hatinya. Apalagi bila hasratnya itu berhias dengan senyuman mesra yang
mengawali setiap perjumpaan kita. Saat
itu sang bidadaripun berhenti mengepakan sayapnya, kupu kupu di dahan bunga
yang mekar pun ikut mengerlingkan mata, bila hati ini sedang bertaut dengan
telaga warna yang selalu di beranda hati. Tetapi gambaran dalam kanvas hatiku
tentang Camelia kini hanya gambaran suram, seiring dengan tangan Camelia yang
meluruh dari genggamanku.
Pagi tiada bosannya menampakan wajahnya
dengan semburat kuning sinar mentari, seakan tahu persis hatiku yang sedang
galau lantaran kenangan itu selalu saja hadir, Camelia adalah diriku yang ada
di hati diriku sendiri., layaknya fatamorgana yang selalu membungkus bilah hati
ini.
California di bilangan negeri Paman Sam, adalah tanah
terkutuk yang mampu menyeret Camelia yang tiada berdaya, yang harus tinggal di
tanah ini, lantaran harus mengikuti papinya bertugas di bilangan itu. Hanya
tatap mata sendu Camelia yang mengucapkan selamat jalan, ataukah tangis dia
yang mengucapkan selamat berpisah, nampaknya sesuatu yang sudah melekang kuat
telah mengaburkan realitas ini semua. Camelia tak satupun mengucapkan selamat
berpisah, namun akupun tiada mungkin memburu bayangnya hingga California yang aku sendiri tak tahu kemana
arahnya.
“Apakah ini suatu perpisahan ?” masih
terngiang di sendu hatiku ketika pertemuan terakhir di beranda rumahnya.
“Aku tak tahu, Bra !”
“Lantas apa aku harus menunggu ?”
“Aku tak tahu”
“Aku harus bagaimana ?”
“Aku juga belum tahu !”
“Menurutmu aku harus bagamana, Mel ?”
“Jadilah Bharata yang selalu kuagungkan,
yang selalu mampu menjadi laki-laki jantan yang memegang teguh janjinya. Bila
kau sanggup menungguku, akupun akan berusaha pulang ke Indonesia,
meski tanpa papa. Tapi bila kau menginginkan perpisahan ini, kau harus jadi
laki-laki yang bahagia dan selalu ingat padaku. Bra !,. Inilah yang mampu aku berikan padamu, aku nggak punya cara lain”,
tutur kata Camelia hingga kini masih aku ingat betul, lantaran tutur katanya telah berubah menjadi
molekul-molekul darah yang selalu mengalir di nadiku.
“Mel !,aku bukan Romeo dalam adegan drama
Romie dan Juli, aku dan kau bukan pemeran adegan picisan seperti itu, tapi kita
benar benar dalam realita hidup”
“Jadi kamu memilih untuk meninggalkanku, Bra
?” kedua tangan Camelia kini telah berada di leherku, bibir yang penuh pesona
kini benar-benar berada di depan wajahku. Semilir angin kemarau terasa lebih
riuh, di tengah udara dingin yang mulai menyengat Kota Bandung.
“Aku tak pernah sekalipun merengkuh sebuah
perpisahan, sesuai janjiku, Mel ?”
“Lantas kita harus bagaimana, Bra ?”. Sebuah
kecupan mesra dari gadis pujaanku, serasa meruntuhkan langit yang bertemaram
sinar rembulan, dan bintang-bintangpun memilih untuk berselimut dengan gulungan
awan hitam. Tidak seperti biasanya kecuman mesra dari Camelia diiringi denga
matanya yang sembab lantaran dibasahi air mata pilu.
Aku tertegun dalam ketidaktahuan, apakah aku
harus ikut ke California,
sementara baru dua tahun aku kuliah di ITB dan tak mungkin pula aku meninggalkan
bapak ibuku yang sudah uzur. Yang kini tinggal di Semarang.
“Mel, kalau aku harus married denganmu
akupun tak keberatan, walaupun aku harus bekerja. Dari kecil aku terbiasa
membantu bapak jualan di Semarang.
Inilah jalan satu satunya”
“Bila papa mengijinkan akupun tak masalah.
Hanya saja papa memintaku kuliah di Universitas California. Papa benar benar menginginkan
aku sukses Bra, karena aku anak pertama. Sementara sama seperti bapakmu, papi
juga sudah mulai uzur. Hanya akulah anak pertama yang diminta menggantikan
bisnis ekspor-import ini. Lalu aku harus bagaimana, Bra ?”. tangan Camelia
masih saja kuat bergayut di pundaku.
Terasa kebimbangan yang mencekam kini
menggrogoti hatinya, demikian juga aku yang tak mampu mengurai benang cinta
yang mengusut. Namun sebagai anak laki-laki yang sudah kenyang dengan cobaan
hidup, akupun akan terus berusaha tegar.
Demikian juga akupun harus benar benar mampu menguatkan hati Camelia
yang mulai limbung, meski hati ini juga tak kalah dalam kebimbangan.
“Bra aku ingin kau malam ini jangan pulang,,
duduklah disampingku sampai larut malam
“Mel, perpisahan ini memang berat bagiku,
aku tak bisa berpikir harus bagaimana, tapi hari sudah malam. Aku harap kau
dewasa, memang ini kenyataan. Bila Tuhan memepertemukan kita lagi, kenapa
nggak…kita ketemu lagi !”
“Tapi besok pagi, kita sudah nggak ketemu
lagi, Bra !. Sebuah perpisahan?, yang aku sendiri tak tahan menghadapinya “
“Lantas,
aku harus bagaimana Mel ?. Aku yakin papamu menaruh harapan besar
untukmu, demi masa depanmu. Kuatkan hatimu, Mel !. Aku harap kabar yang
kuterima darimu nantinya, adalah kabar tentang kebahagianmu “
“Kok kamu ngomong, kaya gitu, Bra !. Kamu
sudah lega dengan perpisahan ini, bagi seorang pria perpisahan seberat apapun
akan mudah dilupakan, tapi bagi wanita sepertiku…” Camelia tidak mampu
meneruskan lagi, dadanya kini berguncang, pipinya hanya dipenuhi oleh air mata.
Sementara daun palma yang berjejer di halaman rumah Camelia
kini terpagut dalam kebisuan. Mereka seakan hendak menyimak episode tentang
hidup yang diusung dua remaja yang mencoba menggapai masa depan dengan
benih-benih cinta yang tumbuh jauh di dalam hatinya. Suara batuk batuk kecil Om Allan, papi Camelia sekali sekali terdengar
dari dalam rumah besar dan kokoh itu.
Camelia merasakan tubuhnya bertambah dingin
lantaran terbalut dengan angin malam Bulan Agustus yang kering dan dingin. Namun
disamping pria pujaan yang kini disampingnya, pada malam terakhir mampu
menepiskan kedinginan itu.
“Bra, aku minta tolong untuk malam ini ?”
“Tentu, Mel untuk siapa lagi diriku
ini,kalau bukan untukmu?”
“Jadi kau tidak menghendaki perpisahan ini?”
“Aku tak pernah berpikir untuk
meninggalkanmu, Mel”
“Kamu tentunya mau kan
menungguku kembali ke Bandung?”
“Tentu, Mel. Tapi aku tidak suka sebuah luka
hati”
“Maksud kamu gimana ?”
“Bila aku harus menunggumu, akupun minta
tidak ada satu priapun pernah menyentuhmu. Kecuali itu pilihanmu yang terakhir, akupun nggak
keberatan asalkan aku dikasih tahu. Aku akan menunggumu dengan penuh kejujuranku
dan kejujuran kamu “
“Kamu kok punya pikiran, klo aku berkhianat “
Bhatara hanya diam membisu, anganya kembali
ke masa lima
tahun lalu ketika dia harus menerima kenyataan berpisah dengan Andry kala masih
di SMA dulu, yang mencampakan dia begitu
saja. Luka itu hingga kini masih membekas lantaran dia masih belum menemukan
pembalut luka yang menyembuhkan luka dalamnya. Pertemuan dengan Camellia memang
mampu sedikit menyembuhkan luka hatinya. Namun baru saja dia menggapai kembang
warna warni pembalut luka, sebuah penantian harus dia hadapi.
“Kenapa, Bra”
“Ah..nggak. Aku cuma lagi membayangkan
betapa kamu nanti di amrik jatuh ke pangkuan pria bule!”
“Ah
kamu kok gitu, Bra !, aku akan menghargai sebuah penantianmu Bra” Kembali kedua
tangan Camela menggapai leher Bharata, kedua tubuh insan yang dipagut dewa
Amour itu kian mendekat membangkitkan kehangatan pada tubuh mereka dengan dada
mereka yang saling berguncang.
“Bra, aku akan tetap setia, aku tak akan
membuat hatimu terluka” desah bisik bibir Camelia kini persis di telinga Bharata. Bhatarapun kini
merenggangkan pelukanya.
“Kalau kamu jujur sama aku, akupun akan
menantimu di Bandung”
Kedua insan itupun tak mampu lagi melawan
datangnya sang fajar. Kini rumah mewah mirip gedung kompeni menjadi sunyi.
Dan kini Bhatara memenuhi hari hari
penantianya dengan hati berhalaman sepi. Metamorfosis detik, menit, jam hingga
hampir lima
tahun terasa memberati perjalanannya. Kini lamunanya berangsur memudar lantaran
ujian skripsi menghadangnya. Namun tiba tiba saja, hari hari penantianya
berubah wujud menjadi raksasa yang menghimpit tubuhnya,hingga terasa semua
tulangnya telah berpisah dari dagingnya. Kala sebuah surat
berada di kedua tanganya dengan nama Rista Camellia Anderson, yang kini menjadi warga negara
amrik lantaran bersanding dengan Stewart Anderson. Seorag doctor ahli
dirgantara. Sang pria yang terpagut sepi dalam penatian itupun menjadi
bertambah sunyi hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar