Senin, 26 November 2012

J o m b l o

Hari hari bagi Amelia adalah hari dalam kehidupanya. yang tak pernah dihiasi dengan hasrat untuk melangkah surut dalam hal apapun. Bagaikan angin kemarau yang melesat tak bisa dibendung sepanjang garis titian hidupnya, yang penuh dengan kesahajaan dan kegigihan bersama dengan bapa dan emaknya dalam mengayuh biduk kehidupan mereka. Meski Amelia dan keluarganya, hanya bersandar pada biduk yang lapuk dengan layar yang bertebar sayatan koyak, lantaran tertikam ganas dan kejinya kehidupan ini.

Amelia tumbuh menjadi remaja yang lebih sahaja dibanding   ABG lainnya di sekolah tempat dia serius menuntut ilmu. Amelia tidak pernah mengenal manis manja dan ceria seperti anak pejabat atau saudagar kaya dengan rengkuhan materi yang berkecukupan. Sehingga mereka seperti kupu kupu kertas warna warni,yang lepas bebas terbang ke tiap penjuru langit, saat hujan menghadang mereka, maka luruhlah kedua sayap yang tak seberapa kokohnya.

Padahal Amelia saat fajar merekah, dia sudah sibuk membantu emaknya untuk belanja sayur ke pasar pagi, untuk sekedar menyambung separo nafasnya. Dia rela bergumul dengan kabut pagi yang dingin, debu pasar yang berceria ditiup angin gunung atau peluh emak emak tua yang berebut mendapatkan sayur sayuran yang masih segar. Meski kadang disertai rasa kantuk,  lantara Amelia sering sampai larut malam membantu emaknya di warung nasi depan rumahnya. Sementara adik adiknya sudah mendengkur menguntai mimpi indah,tak peduli emak dan kakak sulungnya, mengais sesuap dua suap nafkah.

Itulah Amelia, dia harus menikam bisu hari hari indahnya sebagai ABG yang sebenarnya berwajah cantik, berkulit kuning. Apalagi bila dia berdandan seperti ABG lainnya,bercelana jeans ketat, kaos T shirt yang keren dan asesoris gaul lainnya.Maka tampaklah selibritis yang siap bercasting di depan kamera tv swasta, setiap liuk tubuhnya yang sintal menggeliat seperti ular kobra, maka sorot mata cowok cowok jalangpun akan terus membidiknya. Maka wajar saja,  bila setiap sekolahnya mengadakan perhelatan seni Amelia selalu menjadi bidikan sokib sokibnya untuk mencurahkan multitalentanya. Meski dengan sorot matanya yang  sedingin salju lantaran kehidupanya yang mengalami keterpurukan, kadang kadang juga liar dan tajam pertanda dari dalam dirinya terpendam potensi sebagai ABG multitalenta.

***

“Kau tidak pernah sedikitpun memberi aku harapan,Amel ?” bisik Rudy yang sedari pagi terus menempel Amelia, yang berpakaian seragam sudah agak kusam, karena lamaAmelia  tidak mampu membeli yang baru. Amelia hanya tersenyum tipis dan tetap saja dia menyimpan salju di kedua sorot matanya. Rudypun terus saja hingga hari ini masih menyimpan sejuta penasaran, andaikan cewek ini mampu berbinar seperti ABG lainnya yang ceria, maka tidak ada perbedaan antara selebritis dengan Amelia seberkas benangpun. Namun Amelia hanya “keeping silent”, tanpa memandang serius apa yang selalu dia curahkan kepada dia.

“Kau tak keberatan kan ?,bila aku selalu memintamu untuk menjawab ?”

“Rudy ?, apa sih beratnya menjawab apa yang kamu pinta !. Tapi Rud !, aku bukan cewek seperti itu.Kehidupanku dan emak memang lagi terpuruk, bapak jarang pulang karena banyak mengejar borongan di Jakarta, aku nggak bisa sekolah dan berpacaran seperti cewek lainnya. Maafkan aku Rud !” Amelia tetap saja menyedot es jeruknya di kantin, di tengah klasmeeting sehabis UTS.Kedua sorot matanya,hanya asik menelisik larinya air jeruk yang turun naik sepanjang sedotan. Namun justru Rudi semakin dibuat ngap ngapan dengan ulah dingin “The Ice Girl”, yang terbujur bisu di depannya.

“Tapi kau kan jomblo,Amel ?”

“Ya, tepatnya The Silent Jomblo !, tapi itulah aku Rud !, aku nggak peduli. Aku nggak mau setiap sokibku ikut larut dalam penderitaanku. Aku terbiasa hidup gigih di tengah turun naiknya kehidupanku. Aku dhdapkan dengan bagaimana aku dapat membantu emak dan bapaku yang setengah mati menggayutkan hidup ini. Kau tidak biasa dengan keadaan seperti ini,kan Rud !. Kasihanilah diri kamu sendiri, Ru!” hanya sekali ini dia mendengar suara Amelia yang nyaring, dengan mata yang datar namun siap menundukan hati siapa saja yang ada di depanya.

Rudipun hanya sekilas menguliti perjalanan hidupnya, yang diseputari materi yang berlimpah. Mobil hiam mulus dari negeri Eropa selalu mengantarkan dia kemanapun pergi, doku yang diberikan mama papanya selau ludes untuk terbang dari cakrawala manja tawa satu ke lainnya. Apapun mampu dia beli, namun membeli sberkas cinta dari Amelia, ternyata dia tidak mampu sama sekali.

“Aku siap menerimamu apa adanya !”

“Jangan konyol, Rud !, kamu tidak akan mampu berbuat apapun menghadapi peliknya hidup ini. Kau hanya menuruti emosi hati  saja. Sudahlah Rud !, apa salahnya sih !, kalau kita hanya berteman saja !, piss !” kali ini sebuah senyuman tipis menghiasi wajah putih alami Amelia.

Tapi bagi Rudy sebuah sayatan luka dihatinya mulai terasa pedih. Tidak ada satupun tebing yang kokoh yang mampu dijadikan curahan hatinya. Mama papanya apalagi, mereka hanya sibuk memutarkan bermilyar milyar uangnya demi sebuah kehidupan sang pemuja harta yang glamour. Sokib sokib yang selalu memusarinyapun tak akan mampu mencarikan kiat untuk bisa mendapatkan ABG yang cantik, flamboyan dan sahaja ini. Ruypun hanya mampu menyobek selembar kertas dari bukunya untuk sekedar menuangkan gejolak hatinya yang sedang dijauhi dewi asmara. Hanya itu yang mampu diperbuat Rudy, sementara Amelia hanya asik mencari uang recehan yang tersebar di kantong bajunya, untuk membayar es jeruknya itu.

“Amel!, bacalah puisiku !, inilah gambaran hatiku, “

Amelia
mampukah kau sejenak melepas....
tiap bilah guratan pedih yang menikam halaman hatimu
lantas kau ulurkan kelopak mawar menembus batas langit
dengan warna merah jingga,
akupun mampu membentangkan rindu,
kau mlempar senyum yang mampu meuntuhkan
puncak Mount Everest
kita bermandi di buih putih laut biru
aku dalam tabir cinta,
kau bersamaku menghitung hari....Rudy

“Apa artinya ini semua Rud ?” geliat tubuh Amelia, yang tadinya terbujur bisu kini nampak saat kedua tanganya membaca puisi Rudy, namun sorot mata The Silent Jomblo masih saja sedingin es.

“Sebuah penantian, Amel !, tetang kau, tentang isi hati ini” Tangan kanan Rudy terus saja menempel pada dadanya sendiri.

“So sorry !, Rud, puisimu tak berarti apa apa bagiku, maafkan aku ya Rud !”

***

“Bapak  !”

“Amel, anaku !” sebuah pelukan luapan kangen antara bapak dan putri sulungnya mengharukan pertemuan mereka di tengah malam, saat bapak Amelia tiba kembali di tengah mereka setelah 6 bulan mereka berpisah. Demikian sibuknya hingga Sanoso si tukang batu baru bisa kembali dari Jakarta. Lelaki setengah baya itu, sudah kelihatan tua dibanding dengan umurnya, lantaran dia hanya sebagai pekerja kasar yang memaksakan diri demi menghidupi anak istrinya.

“Bapak !, Amel minta bapak tidak usah ke Jakarta lagi. Warung kita sudah mampu menghidupi kita semua”

“Tapi kamu harus kuliah, Amel !,kamu harus bisa maju, tidak harus terus menerus di warung”

“Itu gampang, pak !, yang penting kita bisa berkumpul lagi, itu sudah cukup bagi Amel “

“Tapi, siapa pacar kamu, Amel ?”

“Amel belum memikirkan itu, Pak !, meskipun sudah banyak cowok yang mendekati aku “

“Jangan begitu Amel, keadaan kita ini adalah semua salah bapak !, kamu tidak boleh ikut menderita. Biarlah semua menjadi tanggung jawab bapak. Seandainya kamu mencintai pria yang kamu pilih, janganlah kau bunuh perasaanmu sendiri. Asal kamu mampu menjaga diri. Kamu kan sudah lulus SMA, kamu harus ceria sama seperti wanita lainnya “.

Amelia hanya tertunduk malu, dalam dirinya kini mulai terasa getaran aneh yang kemudian merambat ke semua sendi tulangnya. Sorot matanya kini mulai hidup, entahlah apa yang akan dilakukan oleh cewek ABG k ini***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar