Aku perhatikan semakin ganjen saja Elsa bertingkah di depan
cowok-cowok gaulnya, berpose layaknya
artis sinetron menambah dunia dan seisinya maunya runtuh. Apalagi bila dia
melempar sedikit senyum tipis, jantung
yang aku tanam dalam dada ini semakin menderu, menyuruhku untuk segera memiliki
kembang mekar ini. Guratan wajah Elsapun makin jelas saja tergambar di halaman
kalbuku. Namun dia tetap saja Elsa, meski hati yang aku miliki tetap saja memberontak,
untuk segera menikam keangkuhannya.
Ataukah hanya gaya hidup Elsa saja yang selangit, yang
masih asing bagiku, yang bertolak belakang dengan gaya hidup aku yang dari kota
kecil. Sejauh kalbu ini merenung, akupun masih ingat betul teori Pak Burhan,
dosen Pengantar Ekonomi yang suka bicara dari hati ke hati dengan semua
mahasiswanya, “Gaya hidup modern bukannya berasal dari kota atau kampung, kaya
atau miskin, tapi dari pola pikir intelektual. Kamu kamu semua kan komunitas
intelektual. Apa nggak ada menteri lahir dari desa, hampir semua petinggi
negara lahir di desa”. Sebuah kekuatan baru mulai tertetes di sanubariku yang
mengering dikungkung kurangnya pd.
Sesaat semua mahasiswa bersorak ceria, mirip anak TK, kala
diumumukan bahwa Pak Hardiman dosen statistik tidak hadir pada sore kali ini.
Sementara Elsa di tengah keceriaannya terus saja didekati sama cowok cowok
beken kampus, yang nota bene bertampang gaul, gedongan dan difasilitasi mobil
untuk kuliah. Sedangkan aku hanya ingat pesan emak, tiap aku mau berangkat ke Jakarta, setelah mudik di
Purwokerto, untuk tekun belajar sehingga bisa meraih sarjana ekonomi dan dapat
kerjaan yang mapan, untuk membantu studi
adiku-adiku.
Akupun menyadari semua itu, namun tetap saja hati, yang
menggelindingkan ego yang tak tentu arahnya, menjerit untuk tetap memiliki Elsa.
Meski hanya selintas beberapa saat hasrat itu menderu, karena aku tahu bahwa
Elsa sebenarnya adalah mahasiswi yang santun, baik dan tekun belajar. Hanya aku saja yang tak mampu mendekati.
Semester demi semester aku selesaikan dengan prestasi nilai
yang baik, karena tekun dan aktifnya aku belajar, emakpun bertambah senang.
Namun semakin pula aku kehilangan akal untuk mendekati Elsa, yang tambah
seronok dan menorehkan bunga kampus di tengah cowok yang berlabel high-class,
hampir tiap hari setelah selesai kuliah Elsa tak ubahnya piala bergilir bagi
temen-temenku, yang menyodorkan mobil mewah dan doku sekedar mejeng sepanjang
warna warni lampu kota Jakarta.
Akupun menjerit pilu, semoga gadis baik dan santun itu
segera mengukuhkan hatinya agar mampu membawa diri di tengah pergaulan kumbang
kumbang kampus yang haus akan madu. Apakah dengan cara begini Elsa akan
menemukan diri dan segera menjadi cewek dewasa, selalu saja kata hai seperti
itu terselip dalam lubuk hatiku, ataukah karena aku saja yang tidak mampu
membuat egonya Elsa menjadi runtuh. Namun tetap saja Elsa tidak mampu
mengendalikan diri dan kehormatannya, bahkan sekarang menjadi buah bibir
kampus, bahwa harga diri Elsa hanyalah sebatas mobil mewah dan pub bahkan hotel
berbintang untuk bermalam beberapa hari. Pada siapa lagi aku harus berontak,
meski amarahku telah menyetuh ujung kepala dan menyumbat tenggorokanku, namun
kemana kepalan tangan aku tujukan.
Akupun mulai menelisik tentang Elsa, lewat Ivan yang hanya
sekedar kenal saja meski telah menjadi temen kuliahku selama 4 tahun.
“Gokil mau
apa kamu nanya tentang Elsa, apa mau booking. Ah kamu belajar saja yang rajin,
biar jadi menteri”
“Nggak
gitu Van, Elsa kan orangnya baikan sama aku, aku hanya kasihan, dia sekarang
jarang aktif di kampus”
“Eh Rudi,
kalau kamu kasihan sama Elsa, kamu nggak bakal mampu dekat dengannya, lagian
Elsa nggak pernah tuh crita tentang kamu”
“Jelas dia
nggak bakalan crita tentang aku, karena
aku sama dia nggak ada apa-apa”
“Ya udah,
ngapain kamu kasihan dan pake tanya-tanya segala !”
“Jangan
gitu Van, aku memang anak katro, bukan gedongan kaya kamu, tapi aku juga temen
Elsa, aku berhak tahu, karena dia dulu di semester satu dan dua, satu kelompok belajar sama aku. Toh dia nggak
nolak buatin tugas-tugas dosen, bahkan dia yang sering nolong aku”
“Terus
kamu mau nanyain apa?”
“Cuma
sekarang dia kok jarang di kampus, ada apa? “
“Kamu
kangen ya, udah deh nggak bakalan kamu bisa ndapetin dia, Tanya saja langsung
sama Elsa, habis perkara !”
“Ya udahlah
Van, terserah kamu mau ngomong apa”
“Ya udah sana pergi,”Pantas saja Elsa terasa bukan Elsa
yang dulu, karena gaul dengan cowok gedongan yang angkuh. Mudah-mudahan aku
bisa merubahnya dan menyadarkan, karena Elsapun bisa menjadi Elsa yang baik
seperti dulu, bila ada cowok yang mampu menjadi curhat hatinya. Aku semakin
yakin kalau aku bakal meruntuhkan kebinalan hatinya. Toh aku tidak lama lagi
lulus dari kampus ini, sementara Elsa masih memiliki mata kuliah yang belum
lulus, semoga waktu yang sempit ini bisa aku manfaatkan untuk mengembalikan
Elsa yang ingin aku miliki, demikian kata hatiku terus saja membara di tengah
jantung hatiku.
Sore hari Jakarta diguyur gerimis sejak pagi, maka tak biasanya kota besar ini menjadi
agak lengang. Mungkin sebagian besar warganya memilihj untuk tinggal di rumah
ketimbang menghabiskan hari Minggu harus menembus dinginya gerimis ini. Hanya
aku saja yang memang memiliki tekad untuk meluncur ke tempat kos Elsa, semoga
saja dia belum mudik ke Bandung.
Pintu kamarnya belum tertutup rapat, sehingga aku tidak
repot repot untuk mengetuknya, sementara dari dalam kamarnya aku dengar
senandung kecil yang dinyanyikan Elsa sempat membuat aku tak kuasa melangkah
lebih dekat lagi kea rah pintu kamarnya. Beruntung Elsa telah mengetahui kedatanganku,
Elsa menyambutnya dengan roman muka kaget dan masam, lantaran hanya aku yang
datang. Pipinya memerah, sorot matanya tidak berani lagi memandangiku. Hanya
sebuah ucapan kecil saja yang dia ucapkan, yang menyuruhku duduk di ruang tamu.
“Kamu nggak mudik, Rud”
“Ah enggak, aku mau nyiapin ujian srkipsi minggu depan “
“Selamat ya Rud, kamu hampir lulus, moga-moga aja berhasil”
“Ya harapan ortuku di kampung kaya gitu”
“Kok kaya dikejar hantu aja, kamu hujan- hujan gini
meluncur ke sini, Rud”
“Kamu masih nyimpen file tugas kelompok kita yang dulu
enggak, Els!, aku lupa naruh dimana. Lu kan dulu rajin ngeprint. Kalau bisa aku
pinjam filenya”
“Nggak tahu di mana Rud, aku nggak pernah lagi punya
file-file kaya gitu”
“Di
komputermu ?”
“Entah
Rud, aku jarang buka laptopku?”
“Tapi ada
kan?, coba kamu buka ?”
“Nggak
tahu , Rina,,dah beberapa bulan ini pinjem laptopku, coba dong di laptopmu ?”
“Aku nggak
punya laptop, aku pinjam kampus kalau
butuh computer?”
“Maafin ya
Rud, kamu jauh-jauh ke sini nggak bawa hasil”
“Kamu
nggak punya salah kok Els, aku masih punya buku di rumah”
“Oh ya
kamu mau minum apa?”
“Kok
repo-repot , nggak usahlah aku cuma sebentar, Kamu masih baikan sama aku ya
Els, kok kamu jarang datang ke kampus lagi”
“Nggak
tahu tuh Rud, aku sekarang malas untuk kuliah”
“Ah kamu
bohong sama aku, aku yakin lantaran kamu sekarang banyak bergaul dengan
temen-temen gedongan yang norak itu, kan ?”
“Apa aku
salah bergaul dengan mereka Rud”
“Kamu udah
tahu jawabanmu dari dalam hatimu sendiri, maafin aku Els, aku nggak mau
nyampuri privasimu, tapi aku cuma kasihan melihatmu”
“Emangnya
ada apa denganku, Rud !, aku baik baik saja kok Rud”
“Ya
sukurlah kalau kamu baik-baik saja, makanya paling tidak kamu bisa wisuda
bareng aku, kalau kamu serius belajar.
Aku Cuma menyayangkan lho Els, dulu kamu satu kelompok belajar denganku. Di
perpustakaan kamu paling aktif, sampai nilaimu lebih baik dari aku. Aku mengakui kamu lebih segalanya dibanding
temen cewek lainnya, tapi sekarang kamu kedodoran. Maafin aku ya Els, ini hanya
sekedar saran dari temen kamu”
“Ah nggak
apa-apa Rud, aku nggak marah. Sebenarnya aku juga sering ditanya papa dan mama,
kapan aku wisuda, tapi karena aku punya kesibukan lain”
“Yah orang
memang punya kesibukan sendiri-sendiri Els, aku juga nggak nyalahin sama kamu.
Udahlah Els, aku tak pulang dulu”
“Kamu
punya acara penting kok buru-buru !”
“Nggak,,
aku Cuma mau pinjam tugas kita yang dulu dan aku Cuma pengin nulung kamu, kalau
bisa kita wisuda bareng sama seperti kita dulu d perpus aktif bareng”
“Ya tunggu
sebentar to Rud, aku pengin curhat sama kamu, siapa lagi temenku yang peduli
sama aku”
“Tapi kamu
banyak acara kan?”
“Ya banyak”
“Itulah
yang aku takuti Els, aku takut ngganggu acara kamu”
“Kamu mau
kan ngantar aku jalan jalan hari ini ke mana aja. Please Rud !”
“Aku nggak
bawa kendaraan, Els, aku naik bis kota tadi “
“Pakai
motor aku aja, kita pergi entah kemana terserah kamu aja”
“Kok
tumben, apa something wrong Els”
“Yah
begitulah, Rud. Aku mulai panik, temen-temenku udah mau wisuda, padahal,
kreditku masih banyak yang belum aku selesaikan”
“Nah itu
baru Elsa, yooo kita berangkat”
Aku cuma menuruti selera Elsa saja kala dia minta kita
ngobrol di rumah makan khusus bakso kesukaan dia, tempatnya sungguh romantis.
Cocok buat curhat si Kembang Wangi tambatan hatiku, yang selama ini aku hanya
bertemu dengan Elsa di episode mimpi hidupku.
Aku tahu pasti, bahwa Elsa adalah bunga layu, yang telah
direguk sari madunya oleh banyak kumbang liar. Namun Elsa tetap elsa, aku tidak
perduli apapun keadaanya. Karena dia juga manusia, toh yang penting dia mau
menyadari masa lalunya dan masih memiliki niatan yang baik untuk menggapai masa
depan dia entah dengan siapa dia melangkah.
Sepatah demi sepatah kata curhat dari mulut Elsa mengalir bagitu
saja, tapi aku sama sekali tidak mendengarkan, karena aku tahu semua
sebelumnya, dan menyadari semua penderitaan hatinya. Hanyalah harapan yang
begitu besar untuk memiliki yang membuat Elsa tanpa sedikitpun noda di depanku.
“Mungkin
saja kamu muak mendengar curhatku,,,atau kamu telah mendengar tentang aku dari
temen temen kampus, Rud”
“Nggak
tahu Elsa, bagiku kamu curhat apa nggak itu sama aja”
“Maksu
kamu”
“Kamu
masih tetap Elsa yang dulu, temenku yang sering nulungku, kamu sering
ngeprinkan tugas untuk aku dan banyak kebaikan lainnya, karena aku nggak punya
computer, karena aku mahasiswa dekil dari udik yang nggak punya apa-apa,
kamulah yang paling tahu keadaan ini. Sekarang kalau kamu seperti ini, akupun
tidak memandang lain tentang kamu”
“Ah yang
bener aja Rud, jarang aku temui pria seprtimu, aku kehilangan kau Rud, kalau
kau wisuda dan kembali ke Purwokerto “ Elsa menyampaikan kepediahan hatinya
sembari bergayut di pundaku.
“Tapi
masih ada yang kurang Els”
“Apa itu
Rud”
“Kamu
nggak bisa aku miliki, nggak mungkin kamu mau dengan cowok dekil kaya gini”
Elsapun hanya meredupkan matanya, wajahnya disodorkan di
hadapakanku, dan sebuah ciuman kecil aku dapatkan. Mesti selintas namun berarti
bagiku, inilah Elsa yang bertahun aku dambakan. Aku bisikan ke telinganya “
Els, aku sayang….Belum sempat aku selesaikan, Elsapun membalasnya dengan ciuman
yang lebih bergairah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar