Senja kini
telah menyelimuti Dukuh Selo di kaki Gunung Merapi, temaram sinar mentari telah
pula merambah wajah dukuh itu yang diselingi menebalnya kabut dingin, yang
mengubah wajah dukuh Selo menjadi senyap dan pohon-pohon rindang terlihat terbujur
kaku. Sementara
itu kegiatan bertani dari semua penghuni menjadi terhenti. Mereka segera
berbenah menyongsong malam-malam panjang
dibuai angin dingin Gunung Merapi.
Silih berganti warna
kehidupan mereka sebagai petani gurem yang tidak menentu, tanpa mereka
perdulikan, Asal saja tanaman sayuran yang mereka pelihara, berhasil mereka panen berarti pula masih ada
secercah kehidupan yang berhasil mereka lalui. Kalau toh tanaman sayuran telah
membusuk dimakan serangga atau hama lainnya, pertanda mereka harus bekerja lebih keras lagi di masa mendatang. Merekapun terima dengan penuh
tawakal.
Namun hidup adalah
perwujudan cinta yang berasal dari pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa kepada
makhlukNYA, tak perduli siapopun berhak menerimanya, asalkan kita tetap ingin menjadi insan yang berniat
mengisi karunia ini dengan ikhlas dan
tawakal.
Cinta kasih antara
sesama mereka sebagai manusia juga berhak mereka terima dan berikan kepada satu sama lainnya, meskipun
kehidupan sebagai petani gurem sangatlah tidak banyak menjanjikan
kebahagian duniawai. Dengan demikian
apakah terlarang bagi mereka untuk merenda cinta kasih antara dua sejoli yang
telah menjadi fitroh, apalagi bila mereka adalah dua sejoli yang saling sepakat
untuk membangun bahtera kehidupan.
Beruntunglah bagi
mereka yang mengejawantahkan hidup ini bukan melulu dari kebahagian duniawai.
Bukankah kehidupan yang mereka harapkan adalah kehidupan yang saling memberikan
manfaat satu sama lainnya dengan belaian kasih sayang. Seperti yang dijalani di
kehidupan sehari-hari oleh Karso bersama dengan keluarganya sebagai petani
gurem. Karso sebagai putra sulung dari keluarga
Pasangan Randeng dan Tumirah beserta
dengan tiga saudaranya yang hidup sangat sederhana, melewati hari-hari
kehidupannya dengan membanting tulang, memanfaatkan tegalanya yang tidak
seberapa luas, ditambah dengan penghasilan tambahan sebagai kuli bangunan atau
apa saja yang mampu menghasilkan uang halal.
Sudah barang tentu
Karso yang hanya tamat SMK itupun juga tidak tinggal diam untuk membantu bapak
dan emaknya dalam menjalankan roda kehidupan. Termasuk juga biayasekolah ketiga
adiknya yang masih kecil. Maka wajar
saja bila Karso tumbuh menjadi remaja yang tegar hidupnya dan tegap badanya
sekaligus memiliko otot yang berisi dan berwarna legam karena harus bergelut
dengan sinar matahari.
Namun bukan itu semua
yang diinginkan Karso, melainkan
kegigihan dan pantang kehilangan harapan untuk membenahi kehidupan di masa
depanya, itu sudah cukup bagi remaja
yang telah didewasakan oleh kehidupannya ini.
Idealis yang tertanam
kuat di benaknya semenjak dia masih duduk di bangku sekolah, untuk semenatara
luluh-lantak dimakan kebutuhan untuk membantu ortunya. Jangankan untuk kuliah di kota besar, untuk
makan sehari-haripun dia harus bergelut dengan tegalan dan sayurnya. Bergelut
pula dengan nasib sebagai anak desa yang akrab dengan penghidupan yang tiada
menentu.
Apa mau dikata nasib
telah mencetaknya demikian, namun sungguh beruntung sekali Karso yang telah
ditempa lahir batin oleh Randeng bapaknya,
sebagai petani gurem yang
telah banyak memakan
garam dan kesabaran kehidupan. Kehidupan
dan kesuksesan meski hanya sejengkal tidak akan datang begitu saja. Semua harus
diraih dengan
2
berkorban untuk diri
kita sendiri. Mengapa tidak ?, bukankah semua kehidupan Randeng dan Tumirah
walau seberapa kecilnya, selalu diraih dengan pundak mereka sendiri ?.
Karsopun menyadari hal
tersebut, maka wajar saja bila dia bertekad untuk memulai segalanya dari kegiatan
bertani sayuran di kebon bapaknya ini. Tak perduli apapun yang harus dia alami,
bukankah kesuksesan tidak harus dimulai dengan berlimpahnya harta. Telah cukup banyak dia saksikan kesuksesan
saudagar-saudagar kaya dikampungnya dimulai dari kegiatan bertani seperti dia.
Jangan harap bisa meraih kesuksesan bila kita sendiri menjadi musuh kesuksesan
yang dapat kita raih.
Demikian bisik hati
kecil Karso di tengah kebonya yang hanya ditemani tajamnya sinar mentari yang membakar
tubuhnya. Tangkai cangkul yang kini
telah dibasahi keringatnya dikeringkan agar tidak licin lagi, sementara dia kini berjalan menuju bawah pohon yangrindang di
tepi kebunnya , untuk meneguk air putih guna membasahi tenggorokannya yang
kering sambil beristirahat sejenak. Karena matahari kini telah berada tepat di
atas kepalanya.
Sambil menikmati air
teh bekal yang dibawanya dari rumah, anganya kini kembali ke masa-masa dia
masih sekolah. Sungguh indah cita-cita yang dulu pernah dimiliki, sama seperti
teman-temanya kala mereka masih gaul bareng.
Diantara Karso dan temen-temenya tiada satupun yang bercita-cita apa
adanya. Selalu saja mereka bareng memiliki cita-cita yang setinggi langit.
Namun apalah artinya sebuah cita-cita, toh semuanya terhempas dengan kenyataan
hidup ini.
Termasuk juga cita –
cita yang pernah dia ungkapkan kepada Minah, cewek gedongan yang manis manja, putra kesayangan juragan
Iskandar, tuan tanah yang paling sukses
di desanya. Kadang pula Karso merasa malu sendiri, terlebh bila berpapasan dengan cewek kolokan itu, bila melihat kenyataan dengan cita-cita yang
pernah dia ungkapkan di depan bunga desa itu.
Biar saja bumi ini akan
berputar terbalik, asal saja matahari dan bulan tetap saja pada kedudukannya
masing-masing, meski saling berseberangan, sementara tiupan angin gunung inipun
kuharapkan masih memberi secercah kehidupan bagi diriku. Biar saja yang aku miliki hanya angan tak
berbatas, asalkan saja bahuku yang legam ini masih mampu menyandarkan hidupku.
Meski cita –citaku dulu
sangat bersebrangan dengan kenyataan, namun bumi belum berhenti berputar. Karso belum gagal untuk mendapatkan kehidupan
ini, masih ada pula tempat di sudut bumi ini yang akan memberikan kesuksesan
bagi dirinya walau hanya sejengkal. Itulah suara hati nurani yang selalu berkumandang dari kalbu
remaja desa yang tidak pernah mengenal menyerah.
Udara panas tengah hari
kini terasa lebih menyengat, Karso segera menyandarkan punggungnya di pohon
akasia di salah satu pojok kebonnya.
Topi capingnya ia kipaskan untuk mengurangi gerahnya tubuh, yang sudah
dibasahi keringat Kedua kakinya telah diluruskan untuk mengurangi kepenatan,
karena sejak pagi dia terus berdiri mencangkul
Basah peluh tubuhnya
kini menjadi saksi akan kegalauan hatinya, masihkan bisa dia bareng Minah berangkat sekolah naik mobil bak terbuka
seperti dulu lagi, berdesak-desakan
dengan pedagang sayur yang mau ke pasar. Meski Minah sebenarnya mampu
bersepeda motor ke sekolah
bila dia mau, namun dia lebih memilih bersama temen-temen sekampung
bercanda-ria di atas mobil sayur , termasuk bareng dengan Karso.
Canda–ria tiada batas
antara mereka terasa sangat mengasyikan,
meski mereka bersekolah di sekolah yang berlainan. Namun keakraban antara remaja desa yang tiada
3
memandang perbedaan
membuat mereka merasakan kesenangan yang tersendiri. Kelok jalan desa ditambah
dengan naik-turunya jalan, tiada mereka takuti meski mereka berada di tumpukan
sayuran.
Desiran hati Karso
terasa begitu tajam bila dia beradu
pandang dengan Minah, yang juga tersipu malu wajahnya. Apalagi bila Karso
memandanginya lebih tajam, wajah Minah menjadi merah tersipu malu, dan tak lama
kemudian merekapun saling melempar senyum. Kedua remaja itu kinipun mulai
merasakan kebahagiaan. Mereka mulai mengerti , arti dari sebuah senyuman.
Apalagi bila mereka satu hari tak
bertemu, merekapun menjadi gelisah mendambakan saat pertemuan.
Karsopun belum berani
menyimpulkan ini sebagai suatu cinta yang bersemi di hati mereka berdua. Apakah
arti semua ini ?. Toh wajar saja bila
mereka yang dah lama saling kenal dan konco
bareng berangkat ke sekolah mengalami hal-hal yang seperti itu.
Ah.. . . betapa
indahnya hari itu kala dia bersama Minah pulang sekolah berdesakan di
bak mobil sayur, Karso teringat pula saat dulu entah karena
apa sebelum mereka mencapai rumah, mesin
mobil sayur yang ditumpangi itu mogok
secara tiba-tiba. Akhirnya semua penumpangnya turun dan berjalan kaki bareng. Kebetulan
hanya dia dan Minah yang rumahnya paling jauh, sehingga kini tinggalah mereka
berdua berjalan seiring menyelusuri jalan desa yang turun-naik dan berkelok.
Mengalami kejadian ini
Minah bukannya bersikap uring-uringan, tetapi malahan sebaliknya senyum manis
tersungging di bibir tipisnya yang merah merekah dan langsung saja dia
menggandeng Karso untuk menyelesuri jalan desa ini.
“ Ayo So !, kita
jogging aja !, dah deket kok rumah kita “
“ Entar lu cuapek, Min ?. Kita tunggu aja
mobil yang akan lewat “ . Karso sebenarnya tidak tega membiarkan Minah, berjalan di bawah terik matahari.
“ Hualah ngenyek lu, jaraknya paling nggak
seberapa kok So “
“Ya udah terserah lu aja “ jawab Karso
yang terheran dengan sikap cewek gedongan ini, lantaran tidak seperti biasanya Minah bersikap mau mandiri seperti ini.
“Nggak
keberatan kan So !, jalan bareng sama aku ? “. Sekali-kali Minah memang suka
manja sama siapa aja, termasuk entah mengapa dia juga seneng manja dengan temen
deketnya Karso.
“
Waduh ! , , , siapa sih yang keberatan
jalan bareng ama lu “
“Emangnya
kenapa ! “ tanya Minah sambil
menghadapkan wajahnya kepada Karso lebih dekat lagi dan melemparkan pandangan matanya kepada Karso
dalam-dalam, seakan akan Minah mengharapkan jawaban yang jujur dari Karso. Sesaat pandangan mata kedua remaja ini saling
bertemu dan tak lama kemudian tinggal tersisa senyum kedua remaja yang
tersungging di bibir masing-masing.
“Apabila
kembang mekar menebarkan wewangian ke semua penjuru mata angin, maka pastilah
datang kumbang berniat hinggap di kelopaknya, sambil menikmati indahnya
warna-warni kembang itu” .
“
Ini lagunya siapa, So ? “
“
Ini bukan lyric lagu, tapi puisi bebas karangan aku sendiri “
“Kirain
album terbaru KD, So ! Lu kan belum
jawab pertanyaanku, kenapa lu seneng
jalan bareng aku sih ? “
4
“ Ya . . .itu tadi jawabanku, pakai puisiku tadi “
“So
aku bukan sastrawan atau maestro atau apa itu pengarang lagu, aku nggak ngerti
maksudnya, Jawab dong So ? “.
Pinta Minah dengan rengekan kecil mirip anak kecil yang manja.
“Kamu itu cuakep . tuan putri !. Bagaikan kembang mawar
yang sedang mekar dan menawarkan wewangian ke semua kumbang yang dahaga. He. .
.he.. .he. . .maka siapa saja seneng kalau main bareng sama lu !. Sudah selesai
jawaban hamba, tuan putri ! “
“Idiih,
kamu genit So, “ jawab Minah sambil berusaha mencubit punggung Karso. Karsopun
segera menghindar cubitan Minah. Kini terlihat kedua remaja yang sedang
bercanda ria, berkejaran mirip acting film India, tak memperdulikan teriknya
matahari dan hilir-mudiknya mobil sayur
yang melewati jalan itu.
Sekali
- sekali terdengar bunyi klakson mobil dan makian sang supirnya, lantaran ulah
mereka yang menganggu lalu lintas. Hingga suatu ketika terdengarlah klakson yang keras diiringi bunyi ban yang berderit
tajam dari arah belakang mereka berdua. Secara spontan Karso memeluk Minah dan
mendorongnya ke arah pinggir jalan. Sehingga kini mereka berdua bergulingan di
tanah dan selamatlah kedua insan itu dari terjangan mobil dibelakangnya.
Kontan saja sang
supirpun menjadi berang bukan kepalang, apa jadinya bila truk sayur yang dikemudikan menggilas tubuh mereka
berdua. Namun kedua remaja itupun tidak menggubrisnya,
karena mereka kini telah terjerambab di tepi jalan dengan posisi saling
berpelukan. Pososo Karso yang kebetulasn
diatas menindihi Minah, kemudian melepaskan pelukannya dan perlahan-lahan bangkit
sambil menjulurkan tangan kepada Minah umtuk membantunya berdiri.
“Trimakasih So, telah menyelamatkan aku “ seru Minah dengan
raut muka yang memerah lantaran tersipu malu. Karsopun tidak tahu harus berbuat
apa, karena kejadian itu sama sekali bukan hal yang direncanakan. Yang ada
dibenaknya kini hanya rasa malu yang
tiada terkira, karena perbuatan
itu menurutnya adalah tetap saja perbuatan yang tidak senonoh.
“ Maafin
aku ya Min !, aku tidak bermaksud. . .. . . ”
“Udahlah
So, aku tahu kau tidak bermaksud kurang-ajar,
thank a lot of So “ . Minah sama sekali menyadari perbuatan Karso tadi.
Meski diwajahnya masih menyimpan perasaan malu, tapi apalah jadinya tadi bila
tak diselamatkan Karso. Sehingga yang
ada di perasaannya kini hanyalah perasaan terlindungi. Meski beberapa pasang mata ikut menyaksikan
kejadian romantis tadi. Bahkan hanya Minahlah yang mampu menjelaskan
perasaan yang timbul dari benaknya yang paling dalam. Maka kini hanyalah senyum
manis yang menghias wajah Minah gadis desa yang selangit.
“Eeh . . ayo
dong kita pulang, jangan bengong aja kaya patung “ Minah segera menarik lengan Karso yang masih
berdiri bengong, lantaran masih tidak percaya dengan kejadian tadi.
Karsopun kini hanya
melangkah menuruti kemauan Minah. Kedua remaja itupun kini kembali dengan
nuansa-nuansa canda-ria sepanjang jalan desa menuju rumah masing.
Sementara di kanan-kiri
jalan desa yang mereka lalui, terlihatlah
daun-daun rumput gajah yang meliuk ke kanan kiri diterpa angin Gunung Merapi,
menimbulkan suara gemirisik . Menghantarkan
salam cinta kepada dua remaja yang sedang di mabuk asmara.
5
Matahari sudah mulai
tergelincir ke arah barat. Sementara itu Karso masih asyik dibuai lamunannya
tentang kisah indah yang lalu kala di masih duduk di SMK di Boyolali. Tak beberapa lama Karsopun
terbangun dari lamunannya, lantaran suara ramai burung-burung gereja yang bersenda-gurau di dahan atas pohon akasia.
“
Aku perhatikan dari tadi selalu saja sampeyan terbawa lamunan masa lalumu , So
!. Itu
nggak baik untuk pemuda seperti sampeyan. Lihatlah aku ini . So !, Apapun yang
aku alami, selalu saja aku terima dengan lapang. Yang penting upaya kita untuk
masa depan jangan pernah diabaikan “.
Seru Kang Amri mencoba mendekati Karso, yang sedang duduk istirahat di bawah pohon
akasia. Sementara bekal dari emaknya masih utuh belum dimakan sedikitpun oleh
sahabatnya itu. Pertanda dalam diri
sahabatnya kini sedang dihinggapi kegetiran hati. Menjumpai
keadaan seperti ini, dalam hati Kang Amripun timbul rasa prihatin
yang mendalam terhadap Karso.
Karuan saja Karso
menjadi tersentak kaget mendengar penuturan sahabatnya itu yang kini tiba-tiba
saja sudah duduk disampingnya, karena dari tadi Karso tidak memperdulikan
kehadiran teman setianya itu.
Meski
mereka berdua memiliki nasib yang sama-sama tak menentu, namun perhatian antar mereka berdua sungguh tiada
duanya. Kebetulan saja Kang Amri juga
petani sayur yang menggarap lahan disamping lahan milik
Karso. Hanya saja Kang Amri berumur 4 tahun
lebih tua dari Karso, dan baru tahun kemarin Kang Amri membina maghligai
keluarga dengan gadis desa tetangganya yang bernama Ngatini.
Sehingga Kang Amripun
tahu persis apa yang ada di benak sahabatnya itu. Terlebih-lebih mereka berdua adalah sahabat
kental sejak masa kecil. Maka tentu saja Kang Amri telah mengetahui hitam-putih
diri Karso. Yang jelas segala nasehat ataupun saran yang akan mampu membuat
perubahan baik untuk dirinya, Karsopun
tidak segan-segan untuk menerima dengan lapang dada. Maka langsung saja Kang
Amri berniat untuk menguatkan hati sahabatnya itu, agar mau bertekad membuang jauh-jauh
lamunan Karso yang tak berujung itu
“Ah. . . aku
hanya kecapaian, Kang ! “. Karso berusaha menutupi apa yang bersemayam dalam
sudut hatinya.
“Aku juga pernah
muda, So !. Tiada yang mampu membuat anak muda menjadi tak berdaya, kecuali
menghadapi kegagalan cinta “.
“ Aku dah melupakan Minah kok, Kang ! ”
“Sukur kalau sampeyan bertekad seperti itu,
tapi hati sampeyan belum bisa !. Selamanya kalau
sampeyan tidak bertekad menghapus kenangan lama, akan membuat sampeyan tidak gairah “
“ Gairah apa to Kang ? “
“
Ya. . . namanya orang hidup, pasti ingin mendapatkan segala-galanya agar hidup
kita bahagia, tentram dan damai. Meski kita hanya petani sayur , yang nggak
punya masa depan. Karso hanya
terdiam seribu bahasa, pandangan kini jauh ke depan. Mencoba membangkitkan angan-angan
tentang apa yang akan dilakukan untuk masa mendatang. Bukankah dia masih
memiliki rentang waktu yang masih panjang, untuk mengisi hidup ini dengan
segala sesuatu yang dapat berguna untuk dirinya, keluarganya dan masyarakat di
sekelilingnya.
7
Apakah
kehidupan yang selama ini tidak bersahabat dengan dirinya ini, masih bersedia
menempatkan dirinya menjadi manusia yang bernasib sesuai yang diimpikan Karso,
ataukah dia hanya cukup seperti ini saja. Pertanyaan seperti itu tiada
henti-hentinya melintas di benak Karso, bila dia mengalami kegalauan hati,
akibat dari kehidupan yang sudah mulai pengap ia rasakan.
Sedangkan
Karsopun tahu bahwa Minah adalah gadis desa yang tidak mendewakan duniawi,
namun setidak-tidaknya Karso tidak ingin bila keluarga yang dimiliki kelak
hanya puas sebagai petani gurem. Meski dia selama ini
mampu menghadapi kehidupannya dengan tangguh dan pantang menyerah, namun belum
tentu putra-putranya kelak bisa bersikap seperti dia..
Masih saja melintas di
hatinya untuk bisa memiliki Minah, cewek yang begitu kuat melekat di hatinya.
Hanya kepada dialah Karso berniat untuk
mewujudkan segala impiannya. Meskipun impian yang dimilikinya itu telah kandas.
Apalagi selama ini dia
menyaksikan sendiri betapa ulet dan gighnya
orang tuanya dalam membiayai pendidikan dia meski hanya sampai tingkat
SMK, Suatu kebanggaan sendiri bagi Pak
Randeng yang sudah begitu sarat dengan hidup yang membebaninya. Akankah
perjuangan ortunya selama ini akan sia-sia saja.
Karso hanya tertunduk
lesu, disekanya keringat yang masih saja deras membasahi wajahnya. Cangkul yang
sejak tadi pagi melekat kuat di tangannya yang kokoh, kini dibiarkan saja
melintang di depannya. Pandangan matanya
mulai sayu lantaran dia merasakan himpitan penderitaan yang demikian
beratnya.
Belum lagi beban biaya
sekolah ke tiga adiknya, tentu saja semua ini seharusnya menjadi tanggungannya,
karena kedua bahu Pak Randeng sudah tak sekokoh dahulu. Ditambah lagi kehidupan
petani gurem sudah tidak banyak menjanjikan kehidupan yang layak.
“Pendek kata, So !. Selama kita belum mampu berhasil
memperjuangkan nasib kita sendiri,
selalu saja kepahitan hati yang
akan kita temui dan disitulah letaknya manusia harus banyak bersabar “.
Kata-kata Kang Amri tadi sedikit membuat hati Karso agak terbuka dan Karsopun
merasa menemukan sedikit obat hati yang dimasukan dalam-dalam ke lubuk hatinya.
“
Lantas aku harus bagaimana Kang !. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa
“Desa
ini tidak mampu menjanjikan apa-apa untuk pemuda sepertimu “ Jawab Kang Amri
dengan tegas.
“ Maksud Kakang gimana ? “
“Merantaulah
ke Jakarta atau Semarang atau lainnya,
bila sampeyan tangguh. sampeyan
akan mampu merubah nasib “
“
Rasanya nggak mungkin Kang ! ”
“Mengapa nggak mungkin, aku memang tahu, berat rasanya bagi sampeyan meninggalkan desa
ini. Apalagi Kang Randeng sudah sakit-sakitan. Tapi ingat lho So !,
Sampeyan adalah tamatan
SMK Jurusan automotif, Sampeyan nggak bakal bisa memanfaatkan ijazah sampeyan.
Sayang lho So, bila engkau tetap menjadi petani gurem “ .
“Bapak mungkin nggak ngasih ijin, Kang !
Sebenarnya aku juga punya rencana kaya gitu ! . Tapi aku berpikir juga, nanti
siapa sih yang akan membantu bapak di sawah ? “.
8
Dalam
hati Karso memang timbul rasa bimbang untuk menentukan pilihan itu. Lantaran kondisi bapaknya yang sudah mulai sakit-sakitan. Sehingga Karsopun
tetap memilih untuk tinggal di desa ini, sambil membimbing dan mengawasi ke
tiga adiknya yang masih kecil.
Apalagi semenjak Minah kuliah di Jogja setahun
yang lalu, dia sama sekali sudah nggak betah tinggal di desa ini. Dia ingin
segera melupakan Minah tambatan hatinya yang sengaja di kuliahkan di Jogja oleh
Juragan Iskandar, agar putri kesayangannya bisa melupakan dirinya. Entahlah
Karso tidak tahu harus berbuat apa, agar dia mampu melupakan Minah demi
kebahagian Minah sendiri.
Terkadang pula Karsopun
berniat untuk membuktikan kepada Juragan Iskandar, bahwa dia bukanlah pemuda yang bisa dipandang rendah
dan dicaci sesuka juragan itu. Kejadian satu tahun yang lalu memang sungguh
menyayat hati dia dan ortunya. Cacian dan hinaan yang dilontarkan juragan itu
di depan orang banyak, sungguh selalu terngiang di telinganya kemanapun Karso
pergi. Belum lagi tangis emaknya yang
begitu dalam menahan sakit hati atas perlakuan itu.
Meskipun Pak Randeng
lebih mampu menahan perasaan sakit hatinya, namun tetap juga bapaknya Karso itu
tidak mamupu menyembunyikan kegetiran hatinya. Pertanda dari raut mukanya yang
kelihatan bertambah tua. Lebih sering menderita sakit demam, terutama bila
tengah malam yang bercuaca dingin. Namun
karena bapaknya adalah laki-laki yang sejak kecil akrab dengan penderitaan
hidup , maka Pak Randeng lebih mampu bersikap tegar. Dan untuk yang satu ini, Karsopun
bangga dengan sikap bapaknya yang bisa dijadikan teladan.
Jujur saja Karso
mengakui bahwa dengan ketegaran dan kedewasaan yang dimiliki bapaknya, sudah
cukup bisa dijadikan bekal hidup bagi pemuda sederhana itu, apabila Karso mampu berdiri setegar bapaknya.
Karena kekayaan materi hanya salah satu bentuk saja dari suatu kebahagian yang
diperjuangkan setiap manusia. Namun hakekatnya kaya dan miskin terletak di
dalah relung hati tiap insan itu sendiri.
Bukankah Minah sendiri
yang sering bertandang ke rumah Karso yang reot untuk mengajak jalan-jalan
menyusuri jalan desa yang menembus kebon-kebon sayur milik warga desa itu, untuk bercumbu rayu dengan Karso kekasih
hatinya. Pemuda yang menurut Minah memiliki pribadi yang matang dan dirasakan
mampu melindungi Minah sera
bertanggung-jawab. Sikap ini sangat bertolak belakang dengan watak Minah itu
sendiri.
Minah merasakan kelembutan belaian kasih
sayang Karso terhadap dirinya, meski
Karso hanya anak seorang petani gurem. Segala macam peluk dan cium selalu Minah
dapatkan apabila mereka berdua memadu kasih, disaksikan oleh temaramnya senja
di Desa Selo Kaki Gunung Merapi. Minahpun
merasakan tiada dunia selain disisi Karso. Sehingga hanya kepada pemuda
inilah Minah akan menyerahkan hidupnya.
Meski dia nantinya
hanya berperan sebagai istri seorang petani gurem, bila Tuhan Yang Maha Kuasa
berkenan menjodohkannya. Namun ada hal yang terselip di hati Minah yang tidak
mampu ditebus oleh apapun jua, yaitu cintanya
yang bening kepada Karso pujaannya. Demikian pula kasih-sayang yang demikian
lembut dan tulusnya, mampu Minah dapatkan dari pujaan hatinya.
Rupanya drama cinta
yang telah diperankan dua insan ini terdengar hingga ke telinga Juragan
Iskandar. Satu dua kali kabar yang
didengarnya tak pernah digubrisnya. Namun kabar tentang putri kesayangannya itu
semakin santer terdengar di telinganya. Ditambah lagi sering Juragan Iskandar
jumpai perubahan sikap Minah yang suka ngelayab, malas
9
membantu ibunya di
rumah dan kadang pula sering dia temui sikap Minah yang sering melamun.
Maka pada suatu hari,
Karsopun ingat betul betapa dia tak
mampu melupakan begitu saja kisah yang sangat menyakitkan itu. Juragan Iskandar
dengan dikawal beberapa anak buahnya melabrak Karso di rumahnya. Kebetulan saat itu Minah sedang bertandang ke
rumah Karso. Saat Minah. Pak Randeng dan Tumirah emaknya Karso sedang asyik berbicara di ruang tamu yang berdinding
bambu, masuklah rombongan Juragan
Iskandar tanpa basa-basi menanyakan keberadaan Karso.
Beberapa anak buah Juragan Iskandar tanpa permisi Pak
Randeng, dengan kasarnya menyeret tubuh
Minah dan membawanya pulang. Sedangkan sebagian lainnya langsung masuk ke dalam
rumah Pak Randeng yang hampir roboh itu untuk mencari Karso. Setiap sudut rumah Pak Randeng tidak ada yang luput dari
pengamatan mereka.
Sementara teriakan
minta tolong dari Tumirah dan Minah yang diculik secara kasar telah membuat
para tetangga Pak Randeng berhamburan keluar, tetapi apa yang dapat mereka
lakukan. Karena memang telah kesohor dimana-mana bahwa anak buah Juragan
Iskandar tidak pernah mengenal belas kasihan dan bertangan dingin dan dengan
cara seperti inilah Juragan Iskandar mampu mengelola dagangnya hingga
berkembang pesat.
Tak
lama kemudian mereka berhasil menyeret Karso hingga sampai halaman rumah. Dengan wajah dingin dan
tak mengenal belas kasihan, mereka
beramai-ramai melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh Karso yang terus
menerus berteriak kesakitan.
“Karso
!, Ingat – ingat pesanku ! , kalau kamu ingin selamat. Jangan sekali-kali
engkau mendekati anaku lagi. Kalau kau ulangi lagi perbuatanmu, maka kau akan
tahu sendiri akibatnya. He. . . anak muda ini baru permulaan “. Ancam Juragan
Iskandar kepada Karso, yang
terus-terusan memohon ampun, namun tidak pernah digubris oleh sang juragan yang
sombong itu. Sementara kini terlihat di sudut bibir Karso dan hidungnya telah
mengalir darah segar.
“Silahkan bapak berbuat sesuka hati kepadaku, Namun
perlu bapak ketahui, antara aku dan Minah tidak mungkin akan berpisah. Tanyakan
sendiri pada Minah!, bila bapak tidak percaya !“
“Kurang
ajar !, dasar anak tak tahu diri.
Rasakan ini ! “ . Teriak Juragan Iskandar sambil melayangkan bogem mentah ke
arah pipi Karso. Sementara itu karena Karso tidak sempat menghindar, maka kini
dia melangkah surut sambil terhuyung-huyung kemudian roboh, akibat pukulan
Juragan Iskandar yang keras mendarat tepat di rahang bawah.
Melihat anak sulungnya
limbung dianiaya Juragan Iskandar, Pak
Randeng segera memapah tubuh anaknya yang sempoyongan. Namun sama seperti nasib putra sulungnya, beberapa
bogem mentah dari anak buah Juragan Iskandar kini mendarat di beberapa bagian
tubuhnya.
“Randeng !, suruh anakmu yang tak tahu
diri ini untuk bercermin, apakah pantas dia mendapatkan anaku. Termasuk kau juga, jangan coba-coba punya niat ingin menjadi
besanku. Dengar tidak ! “ bentak
juragannya itu seraya mengangkat krah baju Randeng yang hanya bisa menangis
menahan kehancuran hatinya itu.
Karena kekayaannya
begitu melimpah, maka mata hati Juragan
Iskandar hanyalah mampu melihat segala
sesuatu dari sudut duniawi. Begitu juga perlakuan terhadap putri kesayanganya yang
menjadi bunga desa. Apapun yang Minah inginkan selalu saja Juragan Iskandar
penuhi. Bahkan untuk calon suami
Minahpun, sudah dipilihkankan,
10
yang sudah barang tentu
tidak sembarangan pemuda yang berkenan di hati juragan kaya itu.
Tidak heran bila Minah dijodohkan dengan
pemuda gedongan dari Kota Magelang, yang berprofesi sebagai dokter internist
terkenal di kotanya. Pemuda itu putra
seorang kontraktor besar teman bisnis Juragan Iskandar. Meski selisih umur Minah
dengan calon suaminya itu cukup banyak, namun tidak menjadikan halangan bagi
kedua ortu untuk menjodohkan putranya.
Demikianlah kabar yang santer dari mulut ke mulut, yang tersebar di
seluruh penghuni Dusun Selo.
Karso tersentak kaget
dari lamunannya, kala Kang Amri
menyodorkan kopi hangat kepadanya.
Diteguknya kopi hangat tadi, hingga Karso kini terlepas dari
lamunan=lamunan yang selalu datang dan pergi kemanapun Karso pergi.
“Sudahlah
So !, sekarang bulatkan tekadmu !, merantaulah kemana sampeyan suka. Ini akan
melupakan dirimu dari bayang-bayang masa lalu. Tentang ijin bapakmu, tidak usah kuatir. Minggu kemarin Kang
Randeng telah setuju agar sampeyan meninggalkan desa ini demi secercah
kehidupan. Bahkan pakmu tidak tega melihat sampeyan bernasib seperti ini
“.
Setelah memberi saran
Karso seperti itu. Direguknya
berkali-kali kopi hangat yang ada di depan Kang Amri , hingga tinggal gelasnya
saja yang telah kosong.
“Jadi bapak setuju , Kang ?. Oh syukurlah,
sebenarnya aku ingin ke Jakarta membantu
Lik Udin yang memiliki bengkel kecil-kecilan. Aku ingin membantunya meski Lik
Udin belum mampu menggajiku “
“Akupun
setuju dengan rencanamu, So !. Aku sarankan jangan memikirkan gajimu dulu, So
!. Engkau diterima Likmu saja sudah
syukur. Lantas kapan sampeyan berangkat
?. Aku sarankan sebelum berangkat telepon dulu
Likmu So !. “
“
Aku belum bisa memutuskan kapan berangkat, Kang !. entahlah Kang ! “
“Kalau Cuma untuk beli tiket Senja Utama Solo
Balapan, sampeyan nggak usak kuatir,
biar aku bantu untuk membeli tiketnya “
“Matur
nuwun, Kang !. Nggak usah lah Kang. Nanti ngrepoti sampeyan. Aku punya sedikit
tabungan kok, Kang ! “
“He. . .he.. he nggak usah malu-malu So !
, betul aku ikhlas , Tabunganmu biar
untuk uang sakumu selama di Jakarta,
Nanti malam habis isya datanglah ke rumahku, ya….? “. Pinta Kang Amri
kepada Karso yang dibalas dengan senyuman kecil
Karso.
“Mengapa
sampeyan begitu baik sama aku, Kang !. Padahal hidup sampeyan masih sengsara
sama seperti aku, lho Kang ! “
“Jangan
malu, So. Perlu sampeyan ingat, kala aku jatuh seperti sampeyan tidak ada yang
mau menolongku, kecuali Lik Randeng Beruntunglah sampeyan memiliki bapak
seperti dia “.
“
Apa benar, Kang ! “
“Lho
kapan aku bohong sama sampeyan “. Jawab Lik Amri sambil menggandeng tangan
Karso untuk segera pulang, karena hari telah sore. Kini kedua insan itupun
saling tertawa berderai, bersendau-gurau
di liku jalan desa sepanjang perjalanan ke rumah mereka.
__________000______
11
Kabut tebalpun kini
mulai menyelimuti lereng Gunung Merapi itu, sebagian besar penghuni Dusun Selo
telah mengenakan baju hangat mereka,
Suara desir angin gunung bertambah kuat seiring datangnya rembulan
malam.
Sementara di dalam rumah bambu yang reot itu
Karso sibuk membimbing belajar adik-adiknya disaksikan oleh Tuminah emaknya
sambil tersenyum bahagia memperhatikan anak-anaknya yang tumbuh sehat.
Malam semakin larut,
ketiga adik Karso kini telah berselimut rapat di tengah kedinginan malam yang
membawa mereka tidur dengan nyenyaknya. Tinggalah Karso dan emaknya yang duduk
di kursi bambu tua yang mereka miliki, sambil menikmati singkong rebus dan kopi
panas. Mereka berdua asyik mengobrol.
Tak
lama kemudian terdengarlah batuk-batuk kecil dari Pak Randeng yang terbangun
dari tidurnya dan segera bergabung dengan pembicaraan mereka berdua.
“Jadi
sudah bulat niatmu untuk ke Jakarta, Nang ? “
tanya Pak Randeng sambil merapatkan sarungnya ke seluruh badannya.
“Nggih,
Pak !. Besok pagi-pagi Karso berangkat menuju ke Jakarta. Kebetulan barusan aku
dari Kang Ramli untuk pinjam HP dan berhasil SMS Lik Udin “
“
Terus gimana jawaban Likmu ? “.
“Alhamdullillah
Pak, Lik Udin akan menjemputku di satatiun Gambir, dan sebenarnya sudah lama
kedatangan saya ditunngu Lik Udin “.
“Syukrlah
kalau begitu Nang, berangkatlah setelah adik-adikmu pergi ke sekolah. Sehingga
mereka tidak merengek minta ikut. Yang
aku takutkan bila mereka bersedih mengetahui keberangkatanmu ke Jakarta “ seru
Pak Randeng.
“ Emak nggak bisa ngasih uang saku untukmu Nang, hanya sekedar untuk makan di perjalanan saja.
Yang sabar ya Nang. Dari mulai engkau
lahir hingga kini bapak dan emakmu hanya bisa sabar dan tawakal. Kalau engkau bisa meniru bapakmu ini, niscaya
hidupmu tidak akan pernah merasa kekurangan “ . Kini emaknya ikut nimbrung
pembicaraan mereka. Dari kedua matanya yang sudah keriput mengumpulah titik air
mata kesedihan.
Sebenarnya sangat berat hati Tumirah melepas
kepergian Karso, namun lantaran dia dan suaminya sangat mendambakan
keberhasilan putranya. Maka dengan ikhlaspun Tumirah merelakan kepergian Karso,
yang menjadi kebanggaan dia dan suaminya.
“Janganlah
merasa berhasil dalam hidup ini, So. Sebelum kau tunjukan kepada seluruh warga
desa ini, bahwa keluarga kita tidak serendah apa yang pernah mereka tuduhkan
kepada kita. Ingat So, apa yang pernah manusia
dapatkan bisa berubah dalam
sekejap bila Tuhan yang ada diatas menghendaki demikian “. Pak Randeng dengan
suara datar dan berat mencoba untuk memotivasi putra sulungnya agar mampu berbesar
hati menghadapi kehidupan nantinya di Jakarta.
“
Nggih. Pakne. Karso mohon doa restu,
agar cita-cita kita berhasil “
“
Aku dan emakmu, siang dan malam selalu berdoa semoga dalam perjalanan hidup ini
engkau selalu mendapat bimbingan dari Tuhan yang Kuasa dan selalu diberi kekuatan hati agar mampu
menghadapi cobaan hidup ini. Aku dan emakmu berusaha sekuat hati agar selalu
tabah
12
dan pasrah dalam menghadapi cobaan-cobaan yang
baru saja kita lewati. Ini semua harus
engkau tiru, bila kamu memang pengin
menikmati hidup yang sebenarnya “ seru
Pak Randeng.
“Insya
Allah, Pakne. Di masa yang akan datang kita tidak akan mengalami hal-hal
seperti tahun lalu, ini semua karena kesalahan Karso Pak “
“Dalam hal ini Bapakmu tidak pernah menyalahkan
siapapun. Karena semua ini hanya lelakoning
urip dan kita tidak mungkin mampu menghindari. Setelah engkau mengalami hal-hal
seperti tahun lalu, aku harap engkau mampu menjadi pemuda yang dewasa, lapang
dada, gigih dan tidak cepat puas mendapatkan segala sesuatu “. Pak Randeng diam
sejenak sambil menyalakan rokoknya yang
mati dan selalu menempel di mulutnya.
“Aku
memang bertekad untuk melupakan Minah, Pakne !. Gadis itu memang bukan selayaknya menjadi teman
hidupku “
“Syukurlah,
Nang. Bila engkau memiliki tekad seperti
itu. Emak sangat senang bila engkau bisa melupakan dia. Sebenarnya Minah
gadis yang baik, hanya saja bukan kelasmu untuk mendapatkannya “ pinta emaknya
dengan nada sungguh – sungguh.
“ Anaku ! , Bapakmu tidak pernah melarang
engkau untuk mendapatkan Minah. Karena bapak tahu, Minah adalah gadis yang
baik. Namun tentunya engkau belum siap segalanya untuk mendapatkannya, bila
engkau telah siap membahagiakan silahkan saja itu hakmu, Anaku !. Tetapi bila engkau berat melakukan hal itu,
pilihlah gadis lainnya yang orang-tuanya lebih terbuka menerimamu . Jangan
lupakan pesan, bapakmu ini, ya So ! “
Masing-masing yang terlibat dalam
pembicaraan malam itu tiada ada yang kuasa lagi meneruskan pembicaraan,
lantaran mereka semua terhanyut dengan kepahitan, kegetiran dan birama
kehidupan mereka masing-masing.
“
Sepertinya aku tidak kuasa lagi menerima Minah lagi, Pakne !. Karena sikap
Juragan Iskandar yang sungguh keterlaluan dengan diri kita. Belum lagi sikap warga desa ini yang telah
mencibir kita baik yang
di belakang punggung ataupun yang jelas-jelas langsung dilontarkan pada emak
dan bapak, atas hasutan juragan sombong itu “,
“Jangan begitu anaku, jangan dulu menaruh
dendam pada orang yang tidak bersalah seperti Minah, Hilangkan rasa benci yang mendalam terhadap
juragan Iskandar, sebab itu akan menyiksa
hatimu sendiri. Apalagi disaat dirimu
sedang prihatin seperti ini, rasa benci inilah yang akan terus menggrogoti
hatimu, hingga engkau lupa akan kebutuhan dirimu sendiri. “
“
Ah. . . lantas aku harus bagaimana, Pakne ? “
“Anggaplah
engkau terlahir kembali di Jakarta, sehingga masa lalumu telah terkubur
dalam-dalam. Lalui jalan hidupmu dengan gigih. Bukankah engkau melihat sendiri
bagaimana pakmu ini selalu menghadapi liku-liku hidup ini dengan ketabahan.
Barangkali ini bisa engkau jadikan pedoman kerjamu di Jakarta. Apabila engka
kangen dengan adik-adikmu, tidak usah kau pulang, cukup bapak dan emakmu
beserta adikmu yang akan ke Likmu, jangan khawatir biayanya. Anaku !. bapakmu
ini masih punya beberapa sapi untuk ongkos ke Jakarta.. Pakmu dah ngantuk, tak
tidur dulu “
Semua lampu di rumah Pak Randeng telah
dipadamkan, hanya lampu neon 10 watt yang ada di halaman rumah mereka yang
masih menyala. Seisi rumah gubug reot
13
itupun kini telah
beristirahat, merenda mimpi-mimpi malam. Agar esok hari tubuh mereka segar
kembali guna menjalankan roda kehidupan masing-masing.
Karsopun
mulai terlelap di dalam tidurnya, yang kini berusaha sekuat hati melupakan Minah si jantung hati, apalagi mulai
esok dia sudah di Jakarta. Sehingga
perpisahan ini diharapkan akan membukan Karso pada lembaran hidup yang baru.
_________________________
Keren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com