Jumat, 02 November 2012

Cinta yang Tersayat

Senja   kini telah menyelimuti Dukuh Selo di kaki Gunung Merapi, temaram sinar mentari telah pula merambah wajah dukuh itu yang diselingi menebalnya kabut dingin, yang mengubah wajah dukuh Selo menjadi senyap dan pohon-pohon rindang terlihat terbujur kaku. Sementara itu kegiatan bertani dari semua penghuni menjadi terhenti. Mereka segera berbenah  menyongsong malam-malam panjang dibuai angin dingin Gunung Merapi.

Silih berganti warna kehidupan mereka sebagai petani gurem yang tidak menentu, tanpa mereka perdulikan, Asal saja tanaman sayuran yang mereka pelihara,  berhasil mereka panen berarti pula masih ada secercah kehidupan yang berhasil mereka lalui. Kalau toh tanaman sayuran telah membusuk dimakan serangga atau hama lainnya, pertanda mereka harus bekerja  lebih keras lagi di  masa mendatang. Merekapun terima dengan penuh tawakal.

Namun hidup adalah perwujudan cinta yang berasal dari pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa kepada makhlukNYA, tak perduli siapopun berhak menerimanya, asalkan kita  tetap ingin menjadi insan yang berniat mengisi karunia ini  dengan ikhlas dan tawakal.

Cinta kasih antara sesama mereka sebagai manusia juga berhak mereka terima dan berikan  kepada satu sama lainnya,  meskipun  kehidupan sebagai petani gurem sangatlah tidak banyak menjanjikan kebahagian duniawai.  Dengan demikian apakah terlarang bagi mereka untuk merenda cinta kasih antara dua sejoli yang telah menjadi fitroh, apalagi bila mereka adalah dua sejoli yang saling sepakat untuk  membangun bahtera kehidupan.

Beruntunglah bagi mereka yang mengejawantahkan hidup ini bukan melulu dari kebahagian duniawai. Bukankah kehidupan yang mereka harapkan adalah kehidupan yang saling memberikan manfaat satu sama lainnya dengan belaian kasih sayang. Seperti yang dijalani di kehidupan sehari-hari oleh Karso bersama dengan keluarganya sebagai petani gurem.        Karso sebagai putra sulung dari keluarga Pasangan  Randeng dan Tumirah beserta dengan tiga saudaranya yang hidup sangat sederhana, melewati hari-hari kehidupannya dengan membanting tulang, memanfaatkan tegalanya yang tidak seberapa luas, ditambah dengan penghasilan tambahan sebagai kuli bangunan atau apa saja yang mampu menghasilkan uang halal.

Sudah barang tentu Karso yang hanya tamat SMK itupun juga tidak tinggal diam untuk membantu bapak dan emaknya dalam menjalankan roda kehidupan. Termasuk juga biayasekolah ketiga adiknya yang masih kecil.  Maka wajar saja bila Karso tumbuh menjadi remaja yang tegar hidupnya dan tegap badanya sekaligus memiliko otot yang berisi dan berwarna legam karena harus bergelut dengan sinar matahari.

Namun bukan itu semua yang diinginkan Karso,  melainkan kegigihan dan pantang kehilangan harapan untuk membenahi kehidupan di masa depanya,  itu sudah cukup bagi remaja yang telah didewasakan oleh kehidupannya ini.

Idealis yang tertanam kuat di benaknya semenjak dia masih duduk di bangku sekolah, untuk semenatara luluh-lantak dimakan kebutuhan untuk membantu ortunya.  Jangankan untuk kuliah di kota besar, untuk makan sehari-haripun dia harus bergelut dengan tegalan dan sayurnya. Bergelut pula dengan nasib sebagai anak desa yang akrab dengan penghidupan yang tiada menentu.

Apa mau dikata nasib telah mencetaknya demikian, namun sungguh beruntung sekali Karso yang telah ditempa lahir batin oleh Randeng bapaknya,  sebagai petani gurem yang

telah banyak memakan garam dan kesabaran kehidupan.  Kehidupan dan kesuksesan meski hanya sejengkal tidak akan datang begitu saja. Semua harus diraih dengan

2

berkorban untuk diri kita sendiri. Mengapa tidak ?, bukankah semua kehidupan Randeng dan Tumirah walau seberapa kecilnya, selalu diraih dengan pundak mereka sendiri ?.

Karsopun menyadari hal tersebut, maka wajar saja bila dia  bertekad untuk memulai segalanya dari kegiatan bertani sayuran di kebon bapaknya ini. Tak perduli apapun yang harus dia alami, bukankah kesuksesan tidak harus dimulai dengan berlimpahnya harta. Telah cukup  banyak dia saksikan kesuksesan saudagar-saudagar kaya dikampungnya dimulai dari kegiatan bertani seperti dia. Jangan harap bisa meraih kesuksesan bila kita sendiri menjadi musuh kesuksesan yang dapat kita raih.

Demikian bisik hati kecil Karso di tengah kebonya yang hanya ditemani tajamnya sinar mentari yang membakar tubuhnya.  Tangkai cangkul yang kini telah dibasahi keringatnya  dikeringkan  agar tidak licin lagi, sementara dia kini  berjalan menuju bawah pohon yangrindang di tepi kebunnya , untuk meneguk air putih guna membasahi tenggorokannya yang kering sambil beristirahat sejenak. Karena matahari kini telah berada tepat di atas kepalanya.

Sambil menikmati air teh bekal yang dibawanya dari rumah, anganya kini kembali ke masa-masa dia masih sekolah. Sungguh indah cita-cita yang dulu pernah dimiliki, sama seperti teman-temanya kala mereka masih gaul bareng.  Diantara Karso dan temen-temenya tiada satupun yang bercita-cita apa adanya. Selalu saja mereka bareng memiliki cita-cita yang setinggi langit. Namun apalah artinya sebuah cita-cita, toh semuanya terhempas dengan kenyataan hidup ini.

Termasuk juga cita – cita yang pernah dia ungkapkan kepada Minah, cewek gedongan  yang manis manja, putra kesayangan juragan Iskandar,  tuan tanah yang paling sukses di desanya. Kadang pula Karso merasa malu sendiri, terlebh  bila berpapasan dengan cewek kolokan itu,  bila melihat kenyataan dengan cita-cita yang pernah dia ungkapkan di depan bunga desa itu.

Biar saja bumi ini akan berputar terbalik, asal saja matahari dan bulan tetap saja pada kedudukannya masing-masing, meski saling berseberangan, sementara tiupan angin gunung inipun kuharapkan masih memberi secercah kehidupan bagi diriku.  Biar saja yang aku miliki hanya angan tak berbatas, asalkan saja bahuku yang legam ini masih mampu menyandarkan hidupku.

Meski cita –citaku dulu sangat bersebrangan dengan kenyataan, namun bumi belum berhenti berputar.  Karso belum gagal untuk mendapatkan kehidupan ini, masih ada pula tempat di sudut bumi ini yang akan memberikan kesuksesan bagi dirinya walau hanya sejengkal. Itulah suara hati  nurani yang selalu berkumandang dari kalbu remaja desa yang tidak pernah mengenal menyerah.

Udara panas tengah hari kini terasa lebih menyengat, Karso segera menyandarkan punggungnya di pohon akasia di salah satu pojok kebonnya.  Topi capingnya ia kipaskan untuk mengurangi gerahnya tubuh, yang sudah dibasahi keringat Kedua kakinya telah diluruskan untuk mengurangi kepenatan, karena sejak pagi dia terus berdiri mencangkul

Basah peluh tubuhnya kini menjadi saksi akan kegalauan hatinya, masihkan bisa dia bareng  Minah berangkat sekolah naik mobil bak terbuka seperti dulu lagi,   berdesak-desakan dengan pedagang sayur  yang mau ke pasar.   Meski Minah sebenarnya mampu

bersepeda motor ke sekolah bila dia mau, namun dia lebih memilih bersama temen-temen sekampung bercanda-ria di atas mobil sayur , termasuk bareng dengan Karso.

Canda–ria tiada batas antara mereka  terasa sangat mengasyikan, meski mereka bersekolah di sekolah yang berlainan.  Namun keakraban antara remaja desa yang tiada

3

memandang perbedaan membuat mereka merasakan kesenangan yang tersendiri. Kelok jalan desa ditambah dengan naik-turunya jalan, tiada mereka takuti meski mereka berada di tumpukan sayuran.

Desiran hati Karso terasa begitu tajam  bila dia beradu pandang dengan Minah, yang juga tersipu malu wajahnya. Apalagi bila Karso memandanginya lebih tajam, wajah Minah menjadi merah tersipu malu, dan tak lama kemudian merekapun saling melempar senyum. Kedua remaja itu kinipun mulai merasakan kebahagiaan. Mereka mulai mengerti , arti dari sebuah senyuman. Apalagi bila mereka  satu hari tak bertemu, merekapun menjadi gelisah mendambakan saat pertemuan.

Karsopun belum berani menyimpulkan ini sebagai suatu cinta yang bersemi di hati mereka berdua. Apakah arti semua ini ?.  Toh wajar saja bila mereka yang dah lama saling kenal dan  konco bareng berangkat ke sekolah mengalami hal-hal yang seperti itu. 

Ah.. . . betapa indahnya hari itu kala  dia  bersama Minah pulang sekolah berdesakan di bak  mobil sayur,   Karso teringat pula saat dulu entah karena apa  sebelum mereka mencapai rumah, mesin  mobil sayur yang ditumpangi itu mogok secara tiba-tiba. Akhirnya semua penumpangnya  turun dan berjalan kaki bareng. Kebetulan hanya dia dan Minah yang rumahnya paling jauh, sehingga kini tinggalah mereka berdua berjalan seiring menyelusuri jalan desa yang turun-naik dan berkelok.

Mengalami kejadian ini Minah bukannya bersikap uring-uringan, tetapi malahan sebaliknya senyum manis tersungging di bibir tipisnya yang merah merekah dan langsung saja dia menggandeng Karso untuk menyelesuri jalan desa ini.

“ Ayo So !, kita jogging aja !,  dah deket kok  rumah kita “

             “ Entar lu cuapek, Min ?. Kita tunggu aja mobil yang akan lewat “ . Karso sebenarnya tidak tega membiarkan Minah,  berjalan di bawah terik matahari.

            “ Hualah ngenyek lu, jaraknya paling nggak seberapa kok So “

            “Ya udah terserah lu aja “ jawab Karso yang terheran dengan sikap cewek gedongan ini, lantaran tidak seperti biasanya  Minah bersikap mau mandiri seperti ini.

            “Nggak keberatan kan So !, jalan bareng sama aku ? “. Sekali-kali Minah memang suka manja sama siapa aja, termasuk entah mengapa dia juga seneng manja dengan temen deketnya Karso.

            “ Waduh ! , , , siapa  sih yang keberatan jalan bareng ama lu “

             “Emangnya kenapa ! “  tanya Minah sambil menghadapkan wajahnya kepada Karso lebih dekat lagi dan  melemparkan pandangan matanya kepada Karso dalam-dalam, seakan akan Minah mengharapkan jawaban yang jujur dari Karso.  Sesaat pandangan mata kedua remaja ini saling bertemu dan tak lama kemudian tinggal tersisa senyum kedua remaja yang tersungging di bibir masing-masing.

            “Apabila kembang mekar menebarkan wewangian ke semua penjuru mata angin, maka pastilah datang kumbang berniat hinggap di kelopaknya, sambil menikmati indahnya warna-warni kembang itu” .

            “ Ini lagunya siapa, So ? “

            “ Ini bukan lyric lagu, tapi puisi bebas karangan aku sendiri “

            “Kirain album terbaru KD, So !   Lu kan belum jawab pertanyaanku,  kenapa lu seneng jalan bareng aku sih ? “

4

            “ Ya . . .itu  tadi jawabanku, pakai puisiku tadi “

            “So aku bukan sastrawan atau maestro atau apa itu pengarang lagu, aku nggak ngerti maksudnya, Jawab dong So ? “. Pinta Minah dengan rengekan kecil mirip anak kecil yang  manja.

            “Kamu itu cuakep . tuan putri !. Bagaikan kembang mawar yang sedang mekar dan menawarkan wewangian ke semua kumbang yang dahaga. He. . .he.. .he. . .maka siapa saja seneng kalau main bareng sama lu !. Sudah selesai jawaban hamba, tuan putri ! “

            “Idiih, kamu genit So, “ jawab Minah sambil berusaha mencubit punggung Karso. Karsopun segera menghindar cubitan Minah. Kini terlihat kedua remaja yang sedang bercanda ria, berkejaran mirip acting film India, tak memperdulikan teriknya matahari dan hilir-mudiknya  mobil sayur yang melewati jalan itu.

Sekali - sekali terdengar bunyi klakson mobil dan makian sang supirnya, lantaran ulah mereka yang menganggu lalu lintas. Hingga suatu ketika terdengarlah klakson  yang keras diiringi bunyi ban yang berderit tajam dari arah belakang mereka berdua. Secara spontan Karso memeluk Minah dan mendorongnya ke arah pinggir jalan. Sehingga kini mereka berdua bergulingan di tanah dan selamatlah kedua insan itu dari terjangan mobil dibelakangnya.

Kontan saja sang supirpun menjadi berang bukan kepalang, apa jadinya bila truk sayur  yang dikemudikan menggilas tubuh mereka berdua. Namun kedua remaja itupun tidak  menggubrisnya,  karena mereka  kini telah  terjerambab di tepi jalan dengan posisi saling berpelukan.  Pososo Karso yang kebetulasn diatas menindihi Minah, kemudian melepaskan pelukannya dan perlahan-lahan bangkit sambil menjulurkan tangan kepada Minah umtuk membantunya berdiri.

            “Trimakasih So,  telah menyelamatkan aku “ seru Minah dengan raut muka yang memerah lantaran tersipu malu. Karsopun tidak tahu harus berbuat apa, karena kejadian itu sama sekali bukan hal yang direncanakan. Yang ada dibenaknya kini hanya rasa malu yang  tiada terkira,  karena perbuatan itu menurutnya adalah tetap saja perbuatan yang tidak senonoh.

            “ Maafin aku ya  Min !, aku tidak  bermaksud. . .. . . ”

            “Udahlah So, aku tahu kau tidak bermaksud kurang-ajar,  thank a lot of So “ .  Minah  sama sekali menyadari perbuatan Karso tadi. Meski diwajahnya masih menyimpan perasaan malu, tapi apalah jadinya tadi bila tak diselamatkan Karso. Sehingga  yang ada di perasaannya kini hanyalah perasaan terlindungi. Meski  beberapa pasang mata ikut menyaksikan kejadian  romantis tadi.  Bahkan hanya Minahlah yang mampu menjelaskan perasaan yang timbul dari benaknya yang paling dalam. Maka kini hanyalah senyum manis yang menghias wajah Minah gadis desa yang selangit.

“Eeh . . ayo dong kita pulang, jangan bengong aja kaya patung “   Minah segera menarik lengan Karso yang masih berdiri bengong, lantaran masih tidak percaya dengan kejadian tadi.

Karsopun kini hanya melangkah menuruti kemauan Minah. Kedua remaja itupun kini kembali dengan nuansa-nuansa canda-ria sepanjang jalan desa menuju rumah masing.

Sementara di kanan-kiri jalan desa yang mereka lalui,  terlihatlah daun-daun rumput gajah yang meliuk ke kanan kiri diterpa angin Gunung Merapi, menimbulkan suara gemirisik . Menghantarkan  salam cinta kepada dua remaja yang sedang di mabuk asmara.

5

Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Sementara itu Karso masih asyik dibuai lamunannya tentang kisah indah yang lalu kala di masih duduk di SMK  di Boyolali. Tak beberapa lama Karsopun terbangun dari lamunannya, lantaran suara ramai burung-burung gereja yang  bersenda-gurau di dahan atas pohon akasia.

        “ Aku perhatikan dari tadi selalu saja sampeyan terbawa lamunan masa lalumu , So !. Itu nggak baik untuk pemuda seperti sampeyan. Lihatlah aku ini . So !, Apapun yang aku alami, selalu saja aku terima dengan lapang. Yang penting upaya kita untuk masa depan jangan pernah diabaikan “. 

Seru Kang Amri  mencoba mendekati Karso,  yang sedang duduk istirahat di bawah pohon akasia. Sementara bekal dari emaknya masih utuh belum dimakan sedikitpun oleh sahabatnya itu.  Pertanda dalam diri sahabatnya kini sedang dihinggapi kegetiran hati.  Menjumpai  keadaan  seperti ini,  dalam hati Kang Amripun timbul rasa prihatin yang mendalam  terhadap Karso.

Karuan saja Karso menjadi tersentak kaget mendengar penuturan sahabatnya itu yang kini tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya, karena dari tadi Karso tidak memperdulikan kehadiran teman setianya  itu.

            Meski mereka berdua memiliki nasib yang sama-sama tak menentu, namun  perhatian antar mereka berdua sungguh tiada duanya.  Kebetulan saja Kang Amri juga petani sayur  yang  menggarap lahan disamping lahan milik Karso.  Hanya saja Kang Amri berumur 4 tahun lebih tua dari Karso, dan baru tahun kemarin Kang Amri membina maghligai keluarga dengan gadis desa tetangganya yang bernama Ngatini.

Sehingga Kang Amripun tahu persis apa yang ada di benak sahabatnya itu.  Terlebih-lebih mereka berdua adalah sahabat kental sejak masa kecil. Maka tentu saja Kang Amri telah mengetahui hitam-putih diri Karso. Yang jelas segala nasehat ataupun saran yang akan mampu membuat perubahan baik untuk dirinya,  Karsopun tidak segan-segan untuk menerima dengan lapang dada. Maka langsung saja Kang Amri berniat untuk menguatkan hati sahabatnya itu,  agar mau bertekad membuang jauh-jauh lamunan  Karso yang tak berujung itu

“Ah. . . aku hanya kecapaian, Kang ! “. Karso berusaha menutupi apa yang bersemayam dalam sudut hatinya.

“Aku juga pernah muda, So !. Tiada yang mampu membuat anak muda menjadi tak berdaya, kecuali menghadapi kegagalan cinta “.

            “ Aku dah melupakan Minah kok, Kang ! ”

             “Sukur kalau sampeyan bertekad seperti itu, tapi hati sampeyan belum bisa !.  Selamanya kalau sampeyan tidak bertekad menghapus kenangan lama,  akan membuat sampeyan tidak gairah 

            “ Gairah apa to Kang ? “

            “ Ya. . . namanya orang hidup, pasti ingin mendapatkan segala-galanya agar hidup kita bahagia, tentram dan damai. Meski kita hanya petani sayur , yang nggak punya masa depan.           Karso hanya terdiam seribu bahasa, pandangan kini jauh ke depan.   Mencoba membangkitkan angan-angan tentang apa yang akan dilakukan untuk masa mendatang. Bukankah dia masih memiliki rentang waktu yang masih panjang, untuk mengisi hidup ini dengan segala sesuatu yang dapat berguna untuk dirinya, keluarganya dan masyarakat di sekelilingnya.


7

Apakah kehidupan yang selama ini tidak bersahabat dengan dirinya ini, masih bersedia menempatkan dirinya menjadi manusia yang bernasib sesuai yang diimpikan Karso, ataukah dia hanya cukup seperti ini saja. Pertanyaan seperti itu tiada henti-hentinya melintas di benak Karso, bila dia mengalami kegalauan hati, akibat dari kehidupan yang sudah mulai pengap ia rasakan.

Sedangkan Karsopun tahu bahwa Minah adalah gadis desa yang tidak mendewakan duniawi, namun setidak-tidaknya Karso tidak ingin bila keluarga yang dimiliki kelak hanya puas sebagai petani gurem.  Meski dia selama ini mampu menghadapi kehidupannya dengan tangguh dan pantang menyerah, namun belum tentu putra-putranya kelak bisa bersikap seperti dia..

Masih saja melintas di hatinya untuk bisa memiliki Minah, cewek yang begitu kuat melekat di hatinya. Hanya  kepada dialah Karso berniat untuk mewujudkan segala impiannya. Meskipun impian yang dimilikinya itu telah kandas.

Apalagi selama ini dia menyaksikan sendiri betapa ulet dan gighnya  orang tuanya dalam membiayai pendidikan dia meski hanya sampai tingkat SMK,  Suatu kebanggaan sendiri bagi Pak Randeng yang sudah begitu sarat dengan hidup yang membebaninya. Akankah perjuangan ortunya selama ini akan sia-sia saja.

Karso hanya tertunduk lesu, disekanya keringat yang masih saja deras membasahi wajahnya. Cangkul yang sejak tadi pagi melekat kuat di tangannya yang kokoh, kini dibiarkan saja melintang di depannya. Pandangan matanya  mulai sayu lantaran dia merasakan himpitan penderitaan yang demikian beratnya.

Belum lagi beban biaya sekolah ke tiga adiknya, tentu saja semua ini seharusnya menjadi tanggungannya, karena kedua bahu Pak Randeng sudah tak sekokoh dahulu. Ditambah lagi kehidupan petani gurem sudah tidak banyak menjanjikan kehidupan yang layak.

             “Pendek kata, So !.  Selama kita belum mampu berhasil memperjuangkan nasib kita sendiri,  selalu saja  kepahitan hati yang akan kita temui dan disitulah letaknya manusia harus banyak bersabar “. Kata-kata Kang Amri tadi sedikit membuat hati Karso agak terbuka dan Karsopun merasa menemukan sedikit obat hati yang dimasukan dalam-dalam ke lubuk hatinya.

             “ Lantas aku harus bagaimana Kang !. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa

            “Desa ini tidak mampu menjanjikan apa-apa untuk pemuda sepertimu “ Jawab Kang Amri dengan tegas.

            “ Maksud Kakang gimana  ? “

             “Merantaulah ke Jakarta atau Semarang atau lainnya,  bila sampeyan  tangguh. sampeyan akan mampu merubah nasib “

            “ Rasanya nggak mungkin Kang ! ”

            “Mengapa nggak mungkin,  aku memang tahu,  berat rasanya bagi sampeyan meninggalkan desa ini. Apalagi Kang Randeng sudah sakit-sakitan. Tapi ingat lho So !,

Sampeyan adalah tamatan SMK Jurusan automotif, Sampeyan nggak bakal bisa memanfaatkan ijazah sampeyan. Sayang lho So, bila engkau tetap menjadi petani gurem “ .

             “Bapak mungkin nggak ngasih ijin, Kang ! Sebenarnya aku juga punya rencana kaya gitu ! . Tapi aku berpikir juga, nanti siapa sih yang akan membantu bapak di sawah ? “.

8

            Dalam hati Karso memang timbul rasa bimbang untuk menentukan pilihan itu.  Lantaran kondisi bapaknya yang  sudah mulai sakit-sakitan. Sehingga Karsopun tetap memilih untuk tinggal di desa ini, sambil membimbing dan mengawasi ke tiga adiknya yang masih kecil.

             Apalagi semenjak Minah kuliah di Jogja setahun yang lalu, dia sama sekali sudah nggak betah tinggal di desa ini. Dia ingin segera melupakan Minah tambatan hatinya yang sengaja di kuliahkan di Jogja oleh Juragan Iskandar, agar putri kesayangannya bisa melupakan dirinya. Entahlah Karso tidak tahu harus berbuat apa, agar dia mampu melupakan Minah demi kebahagian Minah sendiri.

Terkadang pula Karsopun berniat untuk membuktikan kepada Juragan Iskandar, bahwa dia  bukanlah pemuda yang bisa dipandang rendah dan dicaci sesuka juragan itu. Kejadian satu tahun yang lalu memang sungguh menyayat hati dia dan ortunya. Cacian dan hinaan yang dilontarkan juragan itu di depan orang banyak, sungguh selalu terngiang di telinganya kemanapun Karso pergi. Belum lagi tangis emaknya  yang begitu dalam menahan sakit hati atas perlakuan itu.

Meskipun Pak Randeng lebih mampu menahan perasaan sakit hatinya, namun tetap juga bapaknya Karso itu tidak mamupu menyembunyikan kegetiran hatinya. Pertanda dari raut mukanya yang kelihatan bertambah tua. Lebih sering menderita sakit demam, terutama bila tengah malam yang bercuaca dingin.  Namun karena bapaknya adalah laki-laki yang sejak kecil akrab dengan penderitaan hidup , maka Pak Randeng lebih mampu bersikap tegar.  Dan untuk yang satu ini,  Karsopun  bangga dengan sikap bapaknya yang bisa dijadikan teladan.

Jujur saja Karso mengakui bahwa dengan ketegaran dan kedewasaan yang dimiliki bapaknya, sudah cukup bisa dijadikan bekal hidup bagi pemuda sederhana itu,  apabila Karso mampu berdiri setegar bapaknya. Karena kekayaan materi hanya salah satu bentuk saja dari suatu kebahagian yang diperjuangkan setiap manusia. Namun hakekatnya kaya dan miskin terletak di dalah relung hati tiap insan itu sendiri.

Bukankah Minah sendiri yang sering bertandang ke rumah Karso yang reot untuk mengajak jalan-jalan menyusuri jalan desa yang menembus kebon-kebon sayur milik warga desa itu,  untuk bercumbu rayu dengan Karso kekasih hatinya. Pemuda yang menurut Minah memiliki pribadi yang matang dan dirasakan mampu  melindungi Minah sera bertanggung-jawab. Sikap ini sangat bertolak belakang dengan watak Minah itu sendiri.

             Minah merasakan kelembutan belaian kasih sayang Karso terhadap dirinya,  meski Karso hanya anak seorang petani gurem. Segala macam peluk dan cium selalu Minah dapatkan apabila mereka berdua memadu kasih, disaksikan oleh temaramnya senja di Desa Selo Kaki Gunung Merapi. Minahpun  merasakan tiada dunia selain disisi Karso. Sehingga hanya kepada pemuda inilah Minah akan menyerahkan hidupnya.

Meski dia nantinya hanya berperan sebagai istri seorang petani gurem, bila Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menjodohkannya. Namun ada hal yang terselip di hati Minah yang tidak mampu ditebus oleh  apapun jua, yaitu cintanya yang bening kepada Karso pujaannya. Demikian pula kasih-sayang yang demikian lembut dan tulusnya, mampu Minah dapatkan dari pujaan hatinya.

Rupanya drama cinta yang telah diperankan dua insan ini terdengar hingga ke telinga Juragan Iskandar.  Satu dua kali kabar yang didengarnya tak pernah digubrisnya. Namun kabar tentang putri kesayangannya itu semakin santer terdengar di telinganya. Ditambah lagi sering Juragan Iskandar jumpai perubahan sikap Minah yang suka ngelayab,   malas

9

membantu ibunya di rumah dan kadang pula sering dia temui sikap Minah yang sering melamun.

Maka pada suatu hari, Karsopun ingat betul betapa dia  tak mampu melupakan begitu saja kisah yang sangat menyakitkan itu. Juragan Iskandar dengan dikawal beberapa anak buahnya melabrak Karso di rumahnya.  Kebetulan saat itu Minah sedang bertandang ke rumah Karso. Saat Minah. Pak Randeng dan Tumirah emaknya Karso sedang  asyik berbicara di ruang tamu yang berdinding bambu,  masuklah rombongan Juragan Iskandar tanpa basa-basi menanyakan keberadaan Karso.

Beberapa  anak buah Juragan Iskandar tanpa permisi Pak Randeng,  dengan kasarnya menyeret tubuh Minah dan membawanya pulang. Sedangkan sebagian lainnya langsung masuk ke dalam rumah Pak Randeng yang hampir roboh itu untuk mencari Karso.  Setiap sudut rumah  Pak Randeng tidak ada yang luput dari pengamatan mereka.

Sementara teriakan minta tolong dari Tumirah dan Minah yang diculik secara kasar telah membuat para tetangga Pak Randeng berhamburan keluar, tetapi apa yang dapat mereka lakukan. Karena memang telah kesohor dimana-mana bahwa anak buah Juragan Iskandar tidak  pernah mengenal  belas kasihan dan bertangan dingin dan dengan cara seperti inilah Juragan Iskandar mampu mengelola dagangnya hingga berkembang pesat.

Tak lama kemudian mereka berhasil menyeret Karso hingga sampai halaman rumah. Dengan wajah dingin dan tak mengenal belas kasihan,  mereka beramai-ramai melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh Karso yang terus menerus berteriak kesakitan.

            “Karso !, Ingat – ingat pesanku ! , kalau kamu ingin selamat. Jangan sekali-kali engkau mendekati  anaku lagi. Kalau  kau ulangi lagi perbuatanmu, maka kau akan tahu sendiri akibatnya. He. . . anak muda ini baru permulaan “. Ancam Juragan Iskandar kepada Karso,  yang terus-terusan memohon ampun, namun tidak pernah digubris oleh sang juragan yang sombong itu. Sementara kini terlihat di sudut bibir Karso dan hidungnya telah mengalir darah segar.

             “Silahkan  bapak berbuat sesuka hati kepadaku, Namun perlu bapak ketahui, antara aku dan Minah tidak mungkin akan berpisah. Tanyakan sendiri pada Minah!, bila bapak tidak percaya !“

            “Kurang ajar !, dasar anak  tak tahu diri. Rasakan ini ! “ . Teriak Juragan Iskandar sambil melayangkan bogem mentah ke arah pipi Karso. Sementara itu karena Karso tidak sempat menghindar, maka kini dia melangkah surut sambil terhuyung-huyung kemudian roboh, akibat pukulan Juragan Iskandar yang keras mendarat tepat di rahang bawah.

Melihat anak sulungnya limbung dianiaya  Juragan Iskandar, Pak Randeng segera memapah tubuh anaknya yang sempoyongan. Namun  sama seperti nasib putra sulungnya, beberapa bogem mentah dari anak buah Juragan Iskandar kini mendarat di beberapa bagian tubuhnya.

            “Randeng !, suruh anakmu yang tak tahu diri ini untuk bercermin, apakah pantas dia mendapatkan anaku.  Termasuk kau juga,  jangan coba-coba punya niat ingin menjadi besanku. Dengar tidak ! “  bentak juragannya itu seraya mengangkat krah baju Randeng yang hanya bisa menangis menahan kehancuran hatinya itu.

Karena kekayaannya begitu melimpah, maka  mata hati Juragan Iskandar  hanyalah mampu melihat segala sesuatu dari sudut duniawi. Begitu juga perlakuan terhadap putri kesayanganya yang menjadi bunga desa. Apapun yang Minah inginkan selalu saja Juragan Iskandar penuhi.  Bahkan untuk calon suami Minahpun, sudah dipilihkankan,

10

yang sudah barang tentu tidak sembarangan pemuda yang berkenan di hati juragan kaya itu.

 Tidak heran bila Minah dijodohkan dengan pemuda gedongan dari Kota Magelang, yang berprofesi sebagai dokter internist terkenal di kotanya.  Pemuda itu putra seorang kontraktor besar teman bisnis Juragan Iskandar. Meski selisih umur Minah dengan calon suaminya itu cukup banyak, namun tidak menjadikan halangan bagi kedua ortu untuk menjodohkan putranya.  Demikianlah kabar yang santer dari mulut ke mulut, yang tersebar di seluruh penghuni Dusun Selo.

Karso tersentak kaget dari lamunannya,  kala Kang Amri menyodorkan kopi hangat kepadanya.  Diteguknya kopi hangat tadi, hingga Karso kini terlepas dari lamunan=lamunan yang selalu datang dan pergi kemanapun Karso pergi.

            “Sudahlah So !, sekarang bulatkan tekadmu !, merantaulah kemana sampeyan suka. Ini akan melupakan dirimu dari bayang-bayang masa lalu. Tentang ijin bapakmu,  tidak usah kuatir. Minggu kemarin Kang Randeng telah setuju agar sampeyan meninggalkan desa ini demi secercah kehidupan. Bahkan pakmu tidak tega melihat sampeyan bernasib seperti ini “. 

Setelah memberi saran Karso seperti itu.  Direguknya berkali-kali kopi hangat yang ada di depan Kang Amri , hingga tinggal gelasnya saja yang telah kosong.

             “Jadi bapak setuju , Kang ?. Oh syukurlah, sebenarnya aku ingin ke Jakarta  membantu Lik Udin yang memiliki bengkel kecil-kecilan. Aku ingin membantunya meski Lik Udin belum mampu menggajiku “

             “Akupun setuju dengan rencanamu, So !. Aku sarankan jangan memikirkan gajimu dulu, So !. Engkau diterima  Likmu saja sudah syukur.  Lantas kapan sampeyan berangkat ?. Aku sarankan sebelum berangkat telepon dulu  Likmu So !. “

            “ Aku belum bisa memutuskan kapan berangkat, Kang !. entahlah Kang ! “

             “Kalau Cuma untuk beli tiket Senja Utama Solo Balapan,  sampeyan nggak usak kuatir, biar aku bantu untuk membeli tiketnya “

            “Matur nuwun, Kang !. Nggak usah lah Kang. Nanti ngrepoti sampeyan. Aku punya sedikit tabungan kok, Kang ! “

             “He. . .he.. he nggak usah malu-malu So ! ,  betul aku ikhlas , Tabunganmu biar untuk uang sakumu selama di Jakarta,  Nanti malam habis isya datanglah ke rumahku, ya….? “. Pinta Kang Amri kepada Karso yang dibalas dengan senyuman kecil  Karso.

            “Mengapa sampeyan begitu baik sama aku, Kang !. Padahal hidup sampeyan masih sengsara sama seperti aku, lho Kang ! “

            “Jangan malu, So. Perlu sampeyan ingat, kala aku jatuh seperti sampeyan tidak ada yang mau menolongku, kecuali Lik Randeng Beruntunglah sampeyan memiliki bapak seperti dia “.

            “ Apa  benar, Kang ! “

            “Lho kapan aku bohong sama sampeyan “. Jawab Lik Amri sambil menggandeng tangan Karso untuk segera pulang, karena hari telah sore. Kini kedua insan itupun saling tertawa berderai,  bersendau-gurau di liku jalan desa sepanjang perjalanan ke rumah mereka.

__________000______

11

Kabut tebalpun kini mulai menyelimuti lereng Gunung Merapi itu, sebagian besar penghuni Dusun Selo telah mengenakan baju hangat mereka,  Suara desir angin gunung bertambah kuat seiring datangnya rembulan malam.

 Sementara di dalam rumah bambu yang reot itu Karso sibuk membimbing belajar adik-adiknya disaksikan oleh Tuminah emaknya sambil tersenyum bahagia memperhatikan anak-anaknya  yang tumbuh sehat.

Malam semakin larut, ketiga adik Karso kini telah berselimut rapat di tengah kedinginan malam yang membawa mereka tidur dengan nyenyaknya. Tinggalah Karso dan emaknya yang duduk di kursi bambu tua yang mereka miliki, sambil menikmati singkong rebus dan kopi panas. Mereka berdua asyik mengobrol.

            Tak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk kecil dari Pak Randeng yang terbangun dari tidurnya dan segera bergabung dengan pembicaraan mereka berdua.

            “Jadi sudah bulat niatmu untuk ke Jakarta, Nang ? “  tanya Pak Randeng sambil merapatkan sarungnya ke seluruh badannya.

            “Nggih, Pak !. Besok pagi-pagi Karso berangkat menuju ke Jakarta. Kebetulan barusan aku dari Kang Ramli untuk pinjam HP dan berhasil SMS Lik Udin “

            “ Terus gimana jawaban Likmu  ? “.

            “Alhamdullillah Pak, Lik Udin akan menjemputku di satatiun Gambir, dan sebenarnya sudah lama kedatangan saya ditunngu Lik Udin “.

            “Syukrlah kalau begitu Nang, berangkatlah setelah adik-adikmu pergi ke sekolah. Sehingga mereka tidak  merengek minta ikut. Yang aku takutkan bila mereka bersedih mengetahui keberangkatanmu ke Jakarta “ seru Pak Randeng.

             “ Emak nggak bisa ngasih uang saku untukmu Nang,  hanya sekedar untuk makan di perjalanan saja. Yang sabar ya Nang.  Dari mulai engkau lahir hingga kini bapak dan emakmu hanya bisa sabar dan tawakal.  Kalau engkau bisa meniru bapakmu ini, niscaya hidupmu tidak akan pernah merasa kekurangan “ . Kini emaknya ikut nimbrung pembicaraan mereka. Dari kedua matanya yang sudah keriput mengumpulah titik air mata kesedihan.

             Sebenarnya sangat berat hati Tumirah melepas kepergian Karso, namun lantaran dia dan suaminya sangat mendambakan keberhasilan putranya. Maka dengan ikhlaspun Tumirah merelakan kepergian Karso, yang menjadi kebanggaan dia dan suaminya.

            “Janganlah merasa berhasil dalam hidup ini, So. Sebelum kau tunjukan kepada seluruh warga desa ini, bahwa keluarga kita tidak serendah apa yang pernah mereka tuduhkan kepada kita. Ingat So, apa yang pernah manusia  dapatkan  bisa berubah dalam sekejap bila Tuhan yang ada diatas menghendaki demikian “. Pak Randeng dengan suara datar dan berat mencoba untuk memotivasi putra sulungnya agar mampu berbesar hati menghadapi kehidupan nantinya di Jakarta.

            “ Nggih. Pakne.  Karso mohon doa restu, agar cita-cita kita berhasil “

            “ Aku dan emakmu, siang dan malam selalu berdoa semoga dalam perjalanan hidup ini engkau selalu mendapat bimbingan dari Tuhan yang Kuasa  dan selalu diberi kekuatan hati agar mampu menghadapi cobaan hidup ini. Aku dan emakmu berusaha sekuat hati agar selalu tabah


12

 dan pasrah dalam menghadapi cobaan-cobaan yang baru saja kita lewati. Ini semua  harus engkau tiru,  bila kamu memang pengin menikmati hidup yang sebenarnya “  seru Pak Randeng.

             “Insya Allah, Pakne. Di masa yang akan datang kita tidak akan mengalami hal-hal seperti tahun lalu, ini semua karena kesalahan Karso Pak “

             “Dalam hal ini Bapakmu tidak pernah menyalahkan siapapun.  Karena semua ini hanya lelakoning urip dan kita tidak mungkin mampu menghindari. Setelah engkau mengalami hal-hal seperti tahun lalu, aku harap engkau mampu menjadi pemuda yang dewasa, lapang dada, gigih dan tidak cepat puas mendapatkan segala sesuatu “. Pak Randeng diam sejenak sambil menyalakan  rokoknya yang mati dan selalu menempel di mulutnya.

            “Aku memang bertekad untuk melupakan Minah, Pakne !. Gadis itu memang bukan selayaknya menjadi teman hidupku “

            “Syukurlah, Nang. Bila engkau memiliki tekad seperti  itu. Emak sangat senang bila engkau bisa melupakan dia. Sebenarnya Minah gadis yang baik, hanya saja bukan kelasmu untuk mendapatkannya “ pinta emaknya dengan nada sungguh – sungguh.

             “ Anaku ! , Bapakmu tidak pernah melarang engkau untuk mendapatkan Minah. Karena bapak tahu, Minah adalah gadis yang baik. Namun tentunya engkau belum siap segalanya untuk mendapatkannya, bila engkau telah siap membahagiakan silahkan saja itu hakmu, Anaku !.  Tetapi bila engkau berat melakukan hal itu, pilihlah gadis lainnya yang orang-tuanya lebih terbuka menerimamu . Jangan lupakan pesan, bapakmu ini, ya So ! “

            Masing-masing yang terlibat dalam pembicaraan malam itu tiada ada yang kuasa lagi meneruskan pembicaraan, lantaran mereka semua terhanyut dengan kepahitan, kegetiran dan birama kehidupan mereka masing-masing.

            “ Sepertinya aku tidak kuasa lagi menerima Minah lagi, Pakne !. Karena sikap Juragan Iskandar yang sungguh keterlaluan dengan diri kita.  Belum lagi sikap  warga desa ini yang telah

mencibir kita baik yang di belakang punggung ataupun yang jelas-jelas langsung dilontarkan pada emak dan bapak, atas hasutan juragan sombong itu “,

            “Jangan begitu anaku, jangan dulu menaruh dendam pada orang yang tidak bersalah seperti Minah,  Hilangkan rasa benci yang mendalam terhadap juragan Iskandar,  sebab itu akan menyiksa hatimu sendiri.  Apalagi disaat dirimu sedang prihatin seperti ini, rasa benci inilah yang akan terus menggrogoti hatimu, hingga engkau lupa akan kebutuhan dirimu sendiri. “

             “ Ah. . . lantas aku harus bagaimana, Pakne ? “

            “Anggaplah engkau terlahir kembali di Jakarta, sehingga masa lalumu telah terkubur dalam-dalam. Lalui jalan hidupmu dengan gigih. Bukankah engkau melihat sendiri bagaimana pakmu ini selalu menghadapi liku-liku hidup ini dengan ketabahan. Barangkali ini bisa engkau jadikan pedoman kerjamu di Jakarta. Apabila engka kangen dengan adik-adikmu, tidak usah kau pulang, cukup bapak dan emakmu beserta adikmu yang akan ke Likmu, jangan khawatir biayanya. Anaku !. bapakmu ini masih punya beberapa sapi untuk ongkos ke Jakarta.. Pakmu dah ngantuk, tak tidur dulu “

            Semua lampu di rumah Pak Randeng telah dipadamkan, hanya lampu neon 10 watt yang ada di halaman rumah mereka yang masih menyala. Seisi rumah gubug reot

13

itupun kini telah beristirahat, merenda mimpi-mimpi malam. Agar esok hari tubuh mereka segar kembali guna menjalankan roda kehidupan masing-masing.

            Karsopun mulai terlelap di dalam tidurnya, yang kini berusaha sekuat hati melupakan  Minah si jantung hati, apalagi mulai esok  dia sudah di Jakarta. Sehingga perpisahan ini diharapkan akan membukan Karso pada lembaran hidup yang baru.


_________________________


1 komentar: