Senja itu Lydia hanya sendiri di kamar, berteman sepi dan
hanya menjaring sejuta angan dari penjuru benak hati yang satu ke penjuru benak
hati lainya. Sesekali tiupan angin kencang bercampur titik air gerimis senja
menerpa kamarnya. Namun Lydia tidak
memperdulikanya. sekali sekali sorot matanya diarahkan ke
handpone warna biru muda, yang dia letakan begitu saja di atas seprei tempat
tidurnya “Mengapa tak kau berikan teriakan nyaring, seperti yang sudah sudah
dan mampu mengobati rasa rinduku pada Aldo, mengapa kamu keep silent ?”. Sesekali pula Lydia membalik
balikan Hpnya itu. Barangkali saja power anten hpnya yang rusak. Ataukah memang
Aldo telah terbang dengan sejuta sayapnya dan hinggap di mawar lainya, yang segalanya lebih baik darinya.
Berkali kali nomor Aldo telah genap tertera di screen handphonenya, namun pada akhirnya
dia urungkan untuk mendapatkan obat rindunya. Mengapa pula dia harus terjepit
dan terpagut sepi, kala Aldo dia “tawan
dalam kain sutra”, yang halus namun kokoh. Padahal beberapa bulan lagi dia harus meninggalkan
Jakarta untuk segera bertugas di Puskesmas Kecamatan Hidup Baru Bengkulu,
sebagai dokter muda. Mengapa pula dia sendiri yang justru menghendaki
perpisahan dan menepiskan kehadiran Aldo. Padahal dia sudah lama menunggu saat
demi saat untuk Aldo, hingga Aldo mampu
menjadi pria yang lebih dewasa dan mengerti. Lidiapun telah merasa cukup
berkorban untuk Aldo.
Tetapi bagaimanapun juga Lydia tetap seorang perempuan yang
masih harus benyak belajar pada hidup ini. Seorang dokter muda yang ditantang
mampu menyembuhkan berbagai penyakit pada pasienya di daerah terpencil nantinya,
namun penyakit hati yang ada di dalam dirinya begitu asing dan mampu meradangkan
setiap urat nadinya.
Handhone dengan cassing biru muda itu kembali dia letakan di
atas sprei tempat tidurnya. Diangkatnya seluruh tubuh yang melekat kuat di
tempat tidur yang bersemangat menghisap tubuhnya yang dipenuhi rasa penat. Lydia tidak mau
terjebak pada perangkap kasur tidurnya, dia lebih baik berdiri di jendela kamar
tidurnya dengan membuka sedikit korden dan kaca nakonya, barangkali saja angin
senja membawa salam dari Aldo untuk dirinya. Namun hanya gemerlap lampu jalan
Kota Jakarta yang sama sekali tidak mau mendengarkan bisikan hatinya.
Perlahan lahan Lydia menutup kaca nako dan korden, sementara
dari kejauhan bising suara kedaraan bermotor masih menggetarkan gendang
telinganya. Lydia masih
2
menjadi sosok yang diburu
bayanganya sendiri, bayangan rasa sepi dan bayangan yang dia bangun sendiri.
***
Ingin hatinya mengurungkan niatnya untuk bertugas ke
Bengkulu. Untuk apa dia di daerah Bengkulu, bila rasa sepi yang menghantuinya
tidak mampu dia tepis. Bahkan kini dia seperti anak ABG atau teenager yang lebay merindukan doinya. Namun
pikiran itu dia buang jauh=jauh “Aku perempuan yang telah dewasa, aku harus menjadi
Lidya yang tagguh. Bukankah kepergianya nanti ke Bengkulu adalah pilihanku yang
semula ditolak tegas oleh mama dan papa” Bisik hati Lidya sendiri, kini menjadi karibnya sendiri.
“Teeet…teeet..teet “ Dering handphone yang sejak sore tadi
terbungkam dingin, kini membangunkan Lydia, yang sudah mulai terhisap pada setiap
lekukan springbed bersprei merah jambu.
“Hallo Lidya ! “, dari
speaker hp-nya melenting begitu saja suara teman karibnya, yang serasa tahu betul apa
yang hinggap di hati Lydia kini.
“Oh Aya.! Syukurlah kamu ngebel aku, dalam kamar sejak sore
tadi. Rasanya aku seperti lagi menunggu hukuman gantung ! “
“Ada apa Lidya ?. Kok kamu ngaco gitu, sih !” Teriak Soraya,
temen yang ganjen dan sudah
sejak SMA dulu menjadi karib sejati Lidya.
“Nggak tahu aku Aya !. Sejak sore tadi aku gelisah,
sebenarnya sih ingin enjoy!, tapi aku bingung harus bagaimana ?”.
“Heeh, kamu kan bukan ABG lagi, kamu sekarang bu dokter muda,
yang sebentar lagi bakal menangani pasien di daerah terpencil, terus kalau kamu
galau kaya gitu, eh bisa-bisa seluruh pasienmu mati dong, Lidya!”
“Ah ada aja kamu !, justru itu Aya !, setelah aku lulus koskap dan harus bertugas sebagai dokter, aku
semakin merasakan arti hidup ini. Aku nggak akan terus seperti ini kan?, ah aku
nggak tahu Aya !”
“Lidya, mesti kamu lagi kesepian, iya kan ?. Kamu kangen sama
Aldo ?, yang baru saja kau campakan !”. Ucapan Soraya dari balik speaker hp,
layaknya sebuah anak panah yang tajam dan menusuk jauh ke dalam jantung hati
Lidya, Apakah diriku bersalah ?
3
bila diriku kini mengharapkan Aldo?, yang justru baru saja aku tepiskan segalanya.
Hingga Aldo pria yang punya lifestyle suka hidup bebas, kini
telah terbang entah ke mana, Lidyapun tidak tahu. Kenapa aku mengharapnya kini
?, seperti menawan Aldo dalam rajutan kain sutra.
“Halloo…hallooo !, Lidya ..Lidya !, kamu lagi sensitif
malam ini ?. OK Lidya sorry ya !!!”
“Halo , Soraya !, nggak apa apa kok !. Aku hanya konyol saja malam
ini ?”
“Lidya !, seperti kataku dulu waktu kamu curhat sama aku.
Aldo sebenarnya pria yang lembut dan dewasa, hanya dia memang susah diatur.
Sebenarnya dia bisa kok menjadi suami yang baik untuk kamu. Tapi gimana lagi
Lidya,! kamu harus kukuh
dalam meniti karir sebagai dokter. Aku harap kamu mampu
menjadi dokter sekaligus istri yang baik untuk suamimu nanti yang lebih baik
dari Aldo “
“Makasih, ya Aya!.
Kamu pernah jumpa Aldo belakangan ini ?”
“Nggak pernah, Sudahlah Lidya !,
sekarang lupakan saja dia, di depanmu kini menanti jalan karir yang panjang, OK
deh Lidya lain waktu kita jumpa lagi. Met malam, ya !”
Kamar tidur itu kembali lagi membius
Lidya dalam dingin dan sepi, ornament yang melekat di dinding kamarnya yang
penuh variasi warna dan bergurat gaya Italia kini tak mampu lagi menghidupkan
hatinya. Di tengah kegalauannya, Lidya sebenarnya masih menyelipkan
sebuah perasaan kodrati sebagai
perempuan, yaitu sebuah hasrat membutuhkan kehadiran pendamping pria yang mampu
melabuhkan perasaan kodrati itu. Sebagus apapun karirnya nanti dia tetap tidak
mampu mengenyahkan perasaan itu. Kini semua yang dilihat dalam kamar menjadi
samar dan menghilang, tinggalah kini Lidya yang direnggut mimpi mimpi indah.
***
Pagi berkabut menyelimuti Kota Jakarta, setelah semalam dibasahi
gerimis, batang batang perdupun menjadi terbujur dingin. Tak ada lagi nyanyian
burung Pipit, Kenari dan Kutilang di kota yang garang dan beringas seperti
Jakarta. Apalagi angin musim penghujan bertiup agak kencang dan menjinjing rasa
dingin . Namun bagi manusia yang
4
masih memiliki sebilah nafas dan deru jantung, mereka tetap menjemput hidup ini meski di tengah
cuaca yang tak ramah seperti pagi ini.
Lidyapun bergegas menjemput hidup di pagi ini dengan wajah
yang dilipat. Karena pagi ini dia harus mengurus berbagai surat ke Kementrian Kesehatan untuk tugasnya
ke Bengkulu dalam waktu dekat. Apalagi
wajah pagi kali inipun tidak mampu lagi mengusiknya untuk merajut senyum ceria,
meski sarapan pagi untuknya telah siap dan telah lama menanti. Namun semua
sarapan paginya kini hanya diterkam dengan sorot mata yang dingin, hanya
beberapa teguk teh hangat manis yang membasahi kerongkonganya. Sementara
hatinyapun terbang entah ke mana, hanya Lidya yang tahu.
Perasaan aneh pada Lidyapun segera dapat dibaca oleh maminya
yang sekarang duduk di depanya dan sekali sekali menyapu seluruh wajah Lidya yang
pucat dengan pandangan yang lembut dan hasrat
untuk menelisik perasaan putri sulungnya. “Lidya !, seharusnya kamu
bahagia saat saat ini, kamu berhasil
lulus menjadi dokter dan mampu meraih prestasi lulusan terbaik. Mama dan papa
juga ikut senang. Apalagi kamu berhasil mendapat ikatan dinas menjadi dokter
PNS dan kamu mau menerimanya kan ?, meski harus ke Bengkulu. Tapi kamu beberapa
hari ini kelihatan suntruk , ada apa Lidya ?”.
“Ah, mami. Biarin saja mam !!, ini urusan Lidya kok dan Lidya
bisa mengatasi sendiri “. Separo dari teh hangat kini sudah direguk oleh Lidya,
namun sarapan yang ada di depanya masih dibiarkan Lidya hingga bertambah dingin.
Lidyapun tidak mau maminya mengusik privasi yang ada di hatinya. Apalagi bila maminya tahu bahwa yang mampu
menghangatkan hatinya yang membujur kaku, hanyalah Aldo, bukanya Albert yang
kehadiran di sisinya sangat diharapkan oleh mami dan papi Lidya.
“Tapi, kamu kan sebentar lagi tugas di Bengkulu. Kalau kamu
sakit, papa jelas tidak setuju !.”
“Aku baik baik saja, mam ?”
“Apa kamu kesepian ?. Setelah Aldo kamu putuskan !”
“Mam !, Lidya bukan
anak kecil lagi, mami hargai dong ! privasi Lidya !”
5
Suara batuk batuk kecil tapi agak dalam, terdengar hingga
tiap sudut ruang makan. Suara batuk itu berasal dari Pramono, papi Lidya yang belum mampu meninggalkan kebiasaan
merokoknya. Lelaki separo baya itu merasa keberatan bila Lidya harus tugas ke
Bengkulu sebagai dokter puskesmas. Pramono lebih memilih Lidya segera membantu papinya dalam mengembangkan
konglomerasi Pramono Group. Pramonopun berambisi menempatkan Lidya, putra
sulungnya sebagai staf direksi untuk menekuni manajerial di perusahaan besar
milik papinya. Tapi apa mau dikata Lidya
lebih menyukai menjadi dokter di daerah terpencil, dengan alasan sebuah
kepedulian dengan sesama dan ambisi untuk mendalami ilmu kedokteran. Dalam
ambisinya yang mengental sekeras batu, Pramono akrab dengan Albert Harjo
Wongso, direktur muda sekaligus putra mahkota Raja Baja Indonesia yang masih
lajang. Meski Albert, seorang direktur yang usianya jauh di bawahnya, namun
kemampuan dalam memanage perusahaan besarnya sungguh brillian. Terbukti dengan
tangan diingin dan langkah strategis Albert mampu mengembangkan Wongso Group,
yang bergerak di bidang jasa baja dari hilir hingga hulu. Dari ide ide
cemerlang Albert inilah, Pramono memiliki ambisi untuk mengembangkan sayap
Pramono Group, dan Lidya telah menjadi pilihan hatinya untuk menjadi central direksi
di groupnya.
Sebersit ide cemerlang telah menghantui Pramono dari waktu ke
waktu, untuk mempertemukan Albert dengan putri sulungnya, guna melancarkan ambisinya
sekaligus menyiapkan masa depan semua putra putranya. Namun hasrat itu telah
sirna karena kehadiran Aldo, pria yang dianggapnya tidak punya visi hidup.
Apalagi dengan rencana Lidya yang berambisi menjadi dokter puskesmas di
Bengkulu.
“Lidya !, kamu sakit ?”. Dengan penuh kelembutan papanya
menyapa Lidya di pagi hari yang sudah mulai dipenuhi sinar kuning mentari.
“Nggak pap !, Lidya hanya lagi tidak selera hari ini “
“Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?. Tuh lihat adik
adikmu sarapan hari ini dengan penuh selera “. Papi Lidya berusaha menghibur
Lidya, yang kini berada di tengah ke dua adiknya yang lahap menikmati sarapan
paginya dengan nasi hangat dan ayam goreng yang dibumbui dengan saos tomat.
“Sudah ada kabar!, kapan kamu berangkat ke Bengkulu ?’
“Belum tahu pap, hari ini Lidya coba menanyakan surat
tugasnya ke kementrian !”
6
“Kok belum selesai sih surat tugasnya ?”
“Nggak tahu!, pap. Lidya juga bingung!
“
“Lidya, mengapa mesti harus ke
Bengkulu ?. Kalau kamu berambisi ingin jadi dokter yang sukses, mudah bagi
papimu memasukan kamu ke Cipto sambil mengambil spesialis di UI. Pikirkan dulu,
sebelum kamu ke Bengkulu “
“Iya, Lidya!, papi juga sependapat
dengan mama. Kalau kamu tidak pengin membantu papa di perusahaan, ya OK lah !.
Tapi mengapa harus ke Bengkulu ?”
“Piss mam, jangan ungkit ungkit lagi
masalah itu . Nanti juga ujung ujungnya ke Albert, Lidya jadi pusing !”
“Lidya !, papa sama sekali tidak
melarangmu ke Bengkulu, toh kalau naik pesawat dari Jakarta nggak ada 1 jam.
Tapi apa kamu bisa tahan menghadapi tantangan di sana?. Kalau tugasmu di
puskesmas daerah Jakarta papa tidak ambil pusing”
“Papa mama inginkan punya putra putra
yang mandiri ?. Maka itu papa!, Lidya
hanya ingin belajar sebuah kemandirian dan makna hidup. Lidya masih ingat,
sejak dari TK hingga sekarang Lidya berkubang dengan kecukupan apapun. Lidya
ingin mandiri di tengah masyarakat desa yang terpencil, barangkali disanalah
Lidya menemui makna hidup “
Tidak ada satu katapun yang keluar
dari mulut mama dan papanya, hanya peluk cium yang dia dapatkan dari kedua adik
Lidya yang minta pamit berangkat sekolah. Lidyapun minta pamit pada
mama dan papanya yang terkadang merasa kasihan sekaligus merasa kagum dengan
visi hidup putra sulung mereka. Namun perasaan risau papanya masih saja
bersemayam di dadanya. Mengapa perjodohan Albert dan putrinya belum menjadi
kenyataan.
***
Mobil sedan warna merah metalik masih
menderukan mesinya dan tak lama kemudian membisu. Lidya keluar dari mobilnya
yang diparkir di halaman Genius Café tempat dirinya mangkal bersama sokib sokib
lainya saat masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Sudah agak lama Lidya tidak
menjenguk café itu, namun beberapa bartendernya masih jelas mengenalinya.
7
“Non Lidya, sekarang bertambah
cantik, tapi kok agak kurusan sedikit “
“Makasih Icca, bagaimana kabar kamu.
Masih betah kerja di sini ?”
“Aku baik baik Mba, ya habis mau
kerja di mana lagi, mba. Ah disini juga lumayan mba ? bisa untuk membeli susu
anaku “
“Oh kamu sudah marriage ya !. Selamat
ya !”
“Makasih mba, oh ya Aldo juga nasih
sering ke sini mba ?’ Icca tabpa sengaja mengabarkan tentang Aldo.
“Ngapain dia ke sini ?”
“Aku nggak tahu, mba. Tapi maaf ya
mba ?”
“Ya ada apa ?”
“Ah nanti mba Lidya tersinggung,
benar nih ?”
“Sure Icca !, aku nggak bakalan
tersinggung. Aku dan Aldo kan sekarang hanya sahabat dekat saja “
“Aldo sekarang pacaran dengan
Trisnani, katanya sih dia penyanyi. Tapi belakangan ini aku lihat Aldo nggak
urakan seperti dulu, dan sebentar lagi katanya mereka mau marriage. Mba belum
tahu kabar ini ?”
“Belum, ya makasih infonya ya Icc,
aku ikut bahagia jika Aldo marriage dengan eh siapa saja”
Sesaat eksotis café di siang itu menjadi
memudar bagi Lidya, setelah sebuah mobil Pajero warna hitam parkir di halaman
depan. Mobil itu tidak lain adalah milik Aldo, yang tidak lama kemudian Aldo
sudah berada di depan meja bartender, untuk memesan kopi dan Virgin Cake
kesukaanya. Aldo pu terperanjat kaget melihat Lidya di sudut meja cafe itu
dengan segelas besar air jeruk dan beberapa pengal roti untuk makan siangnya.
“Lidya, kamu sudah lama, bagaimana
kabarmu ?”
“Baik baik saja Aldo, ngapain kamu
disini. Bagaimana kabarmu Aldo?”
8
‘Aku baik baik saja, aku ke sini
hanya sekedar membunuh waktu saja. Karena aku belum kerja. Kamu juga ngapain di
sini ?”
“Aku mau ke kesehatan, tapi tadi lagi
meeting, Jadi aku nunggu di sini”
“Ngapain ke kesehatan, Lidya ?”
“Aku mau mengambil surat tugas
sekalian SK capeg. Aku ditugaskan di puskesmas terpencil di Bengkulu. Oh ya
mumpung kita ketemu, aku pamit ke Bengkulu, sekaligius aku minta doamu semoga
aku berhasil “
“Lidya, kamu memang sahabat yang baik
hati. Tentu aku terus berdoa untuk sahabatku yang di Bengkulu. Lidya sering
kabar kabar dong sa aku kalau ada apa apa ? Sama aku juga akan selalu memberi
kabar sama kamu, mama dan papa”
“Aldo, aku dengar katanya kamu mau
marriage?”
‘Aku belum berani ngasih kabar sama
kamu, nanti deh kalau semuanya sudah OK. Kamu tidak ganti nomor hp kan ?”
Lidya hanya menggelengkan kepalanya,
lantaran tidak mampu member jawaban degan lidah yang kelu, tenggorokan yang
sesak dan seribu perasaan yang tidak menentu. Pria yang ada di depaya kini sama
sekali tidak memberikan harapan baru lagi. Pria yang ditawan dalam tirai
sutranya kini lepas bagaikan burung dmerpati yang lepas dari sangkarnya. Lidya
tambah kokoh berniat pergi ke Bengkulu***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar