Kamis, 01 November 2012

Sehalus Tirai Sutera


Senja itu Lydia hanya sendiri di kamar, berteman sepi dan hanya menjaring sejuta angan dari penjuru benak hati yang satu ke penjuru benak hati lainya. Sesekali tiupan angin kencang bercampur titik air gerimis senja menerpa kamarnya.  Namun Lydia tidak memperdulikanya.   sekali sekali sorot matanya diarahkan ke handpone warna biru muda, yang dia letakan begitu saja di atas seprei tempat tidurnya “Mengapa tak kau berikan teriakan nyaring, seperti yang sudah sudah dan mampu mengobati rasa rinduku pada Aldo, mengapa kamu keep silent ?”. Sesekali pula Lydia membalik balikan Hpnya itu. Barangkali saja power anten hpnya yang rusak. Ataukah memang Aldo telah terbang dengan sejuta sayapnya dan hinggap di mawar lainya,  yang segalanya lebih baik darinya.

Berkali kali nomor Aldo telah genap tertera di screen handphonenya, namun pada akhirnya dia urungkan untuk mendapatkan obat rindunya. Mengapa pula dia harus terjepit dan terpagut sepi,  kala Aldo dia “tawan dalam kain sutra”, yang halus namun kokoh. Padahal  beberapa bulan lagi dia harus meninggalkan Jakarta untuk segera bertugas di Puskesmas Kecamatan Hidup Baru Bengkulu, sebagai dokter muda. Mengapa pula dia sendiri yang justru menghendaki perpisahan dan menepiskan kehadiran Aldo. Padahal dia sudah lama menunggu saat demi saat untuk Aldo, hingga Aldo  mampu menjadi pria yang lebih dewasa dan mengerti. Lidiapun telah merasa cukup berkorban untuk Aldo.

Tetapi bagaimanapun juga Lydia tetap seorang perempuan yang masih harus benyak belajar pada hidup ini. Seorang dokter muda yang ditantang mampu menyembuhkan berbagai penyakit pada pasienya di daerah terpencil nantinya, namun penyakit hati yang ada di dalam dirinya begitu asing dan mampu meradangkan setiap urat nadinya.

Handhone dengan cassing biru muda itu kembali dia letakan di atas sprei tempat tidurnya. Diangkatnya seluruh tubuh yang melekat kuat di tempat tidur yang bersemangat menghisap tubuhnya  yang dipenuhi rasa penat. Lydia tidak mau terjebak pada perangkap kasur tidurnya, dia lebih baik berdiri di jendela kamar tidurnya dengan membuka sedikit korden dan kaca nakonya, barangkali saja angin senja membawa salam dari Aldo untuk dirinya. Namun hanya gemerlap lampu jalan Kota Jakarta yang sama sekali tidak mau mendengarkan bisikan hatinya.

Perlahan lahan Lydia menutup kaca nako dan korden, sementara dari kejauhan bising suara kedaraan bermotor masih menggetarkan gendang telinganya. Lydia masih

2

menjadi sosok yang diburu  bayanganya sendiri, bayangan rasa sepi dan bayangan  yang dia bangun sendiri.

***

Ingin hatinya mengurungkan niatnya untuk bertugas ke Bengkulu. Untuk apa dia di daerah Bengkulu, bila rasa sepi yang menghantuinya tidak mampu dia tepis. Bahkan kini dia seperti anak ABG atau teenager yang lebay merindukan doinya. Namun pikiran itu dia buang jauh=jauh “Aku perempuan yang telah dewasa, aku harus menjadi Lidya yang tagguh. Bukankah kepergianya nanti ke Bengkulu adalah pilihanku yang semula ditolak tegas oleh mama dan papa” Bisik hati Lidya sendiri, kini menjadi karibnya sendiri.

“Teeet…teeet..teet “ Dering handphone yang sejak sore tadi terbungkam dingin, kini membangunkan Lydia, yang sudah mulai terhisap pada setiap lekukan springbed bersprei merah jambu.

 “Hallo Lidya ! “, dari speaker hp-nya melenting begitu saja suara  teman karibnya, yang serasa tahu betul apa yang hinggap di hati Lydia kini.

“Oh Aya.! Syukurlah kamu ngebel aku, dalam kamar sejak sore tadi. Rasanya aku seperti lagi menunggu hukuman gantung ! “

“Ada apa Lidya ?. Kok kamu ngaco gitu, sih !” Teriak Soraya, temen yang ganjen dan sudah sejak SMA dulu menjadi karib sejati Lidya.

“Nggak tahu aku Aya !. Sejak sore tadi aku gelisah, sebenarnya sih ingin enjoy!, tapi aku bingung harus bagaimana ?”.

“Heeh, kamu kan bukan ABG lagi, kamu sekarang bu dokter muda, yang sebentar lagi bakal menangani pasien di daerah terpencil, terus kalau kamu galau kaya gitu, eh bisa-bisa seluruh pasienmu mati dong, Lidya!”

“Ah ada aja kamu !, justru itu Aya !, setelah aku lulus  koskap dan harus bertugas sebagai dokter, aku semakin merasakan arti hidup ini. Aku nggak akan terus seperti ini kan?, ah aku nggak tahu Aya !”

“Lidya, mesti kamu lagi kesepian, iya kan ?. Kamu kangen sama Aldo ?, yang baru saja kau campakan !”. Ucapan Soraya dari balik speaker hp, layaknya sebuah anak panah yang tajam dan menusuk jauh ke dalam jantung hati Lidya, Apakah diriku  bersalah ?

3

bila diriku kini mengharapkan Aldo?,  yang justru baru saja aku tepiskan segalanya. Hingga Aldo pria yang punya lifestyle suka  hidup bebas, kini telah terbang entah ke mana, Lidyapun tidak tahu. Kenapa aku mengharapnya kini ?, seperti menawan Aldo dalam rajutan kain sutra.

“Halloo…hallooo !, Lidya ..Lidya !, kamu lagi sensitif malam  ini ?. OK Lidya sorry ya !!!”

“Halo , Soraya !, nggak apa apa kok !. Aku hanya konyol saja malam ini  ?”

“Lidya !, seperti kataku dulu waktu kamu curhat sama aku. Aldo sebenarnya pria yang lembut dan dewasa, hanya dia memang susah diatur. Sebenarnya dia bisa kok menjadi suami yang baik untuk kamu. Tapi gimana lagi Lidya,! kamu harus kukuh

dalam meniti karir sebagai dokter. Aku harap kamu mampu menjadi dokter sekaligus istri yang baik untuk suamimu nanti yang lebih baik dari Aldo “

“Makasih,  ya Aya!. Kamu pernah  jumpa Aldo belakangan ini ?”

“Nggak pernah, Sudahlah Lidya !, sekarang lupakan saja dia, di depanmu kini menanti jalan karir yang panjang, OK deh Lidya lain waktu kita jumpa lagi. Met malam, ya !”

Kamar tidur itu kembali lagi membius Lidya dalam dingin dan sepi, ornament yang melekat di dinding kamarnya yang penuh variasi warna dan bergurat gaya Italia kini tak mampu lagi menghidupkan hatinya. Di tengah kegalauannya, Lidya sebenarnya masih menyelipkan

sebuah perasaan kodrati sebagai perempuan, yaitu sebuah hasrat membutuhkan kehadiran pendamping pria yang mampu melabuhkan perasaan kodrati itu. Sebagus apapun karirnya nanti dia tetap tidak mampu mengenyahkan perasaan itu. Kini semua yang dilihat dalam kamar menjadi samar dan menghilang, tinggalah kini Lidya yang direnggut mimpi mimpi indah.

***

Pagi berkabut menyelimuti Kota Jakarta, setelah semalam dibasahi gerimis, batang batang perdupun menjadi terbujur dingin. Tak ada lagi nyanyian burung Pipit, Kenari dan Kutilang di kota yang garang dan beringas seperti Jakarta. Apalagi angin musim penghujan bertiup agak kencang dan menjinjing rasa dingin . Namun bagi manusia yang


4

masih memiliki sebilah nafas dan deru jantung, mereka  tetap menjemput hidup ini meski di tengah cuaca yang tak ramah seperti pagi ini.

Lidyapun bergegas menjemput hidup di pagi ini dengan wajah yang dilipat. Karena pagi ini dia harus mengurus berbagai  surat ke Kementrian Kesehatan untuk tugasnya ke Bengkulu dalam waktu dekat.  Apalagi wajah pagi kali inipun tidak mampu lagi mengusiknya untuk merajut senyum ceria, meski sarapan pagi untuknya telah siap dan telah lama menanti. Namun semua sarapan paginya kini hanya diterkam dengan sorot mata yang dingin, hanya beberapa teguk teh hangat manis yang membasahi kerongkonganya. Sementara hatinyapun terbang entah ke mana, hanya Lidya yang tahu.

Perasaan aneh pada Lidyapun segera dapat dibaca oleh maminya yang sekarang duduk di depanya dan sekali sekali menyapu seluruh wajah Lidya yang pucat dengan pandangan yang lembut dan hasrat  untuk menelisik perasaan putri sulungnya. “Lidya !, seharusnya kamu bahagia saat saat  ini, kamu berhasil lulus menjadi dokter dan mampu meraih prestasi lulusan terbaik. Mama dan papa juga ikut senang. Apalagi kamu berhasil mendapat ikatan dinas menjadi dokter PNS dan kamu mau menerimanya kan ?, meski harus ke Bengkulu. Tapi kamu beberapa hari ini kelihatan suntruk , ada apa Lidya ?”.

“Ah, mami. Biarin saja mam !!, ini urusan Lidya kok dan Lidya bisa mengatasi sendiri “. Separo dari teh hangat kini sudah direguk oleh Lidya, namun sarapan yang ada di depanya masih dibiarkan Lidya hingga bertambah dingin. Lidyapun tidak mau maminya mengusik privasi yang ada di hatinya.  Apalagi bila maminya tahu bahwa yang mampu menghangatkan hatinya yang membujur kaku, hanyalah Aldo, bukanya Albert yang kehadiran di sisinya sangat diharapkan oleh mami dan papi Lidya.

“Tapi, kamu kan sebentar lagi tugas di Bengkulu. Kalau kamu sakit, papa jelas tidak setuju !.”

“Aku baik baik saja, mam ?”

“Apa kamu kesepian ?. Setelah Aldo kamu putuskan !”

“Mam !,  Lidya bukan anak kecil lagi, mami hargai dong ! privasi Lidya !”


5

Suara batuk batuk kecil tapi agak dalam, terdengar hingga tiap sudut ruang makan. Suara batuk itu berasal dari Pramono,  papi Lidya yang  belum mampu meninggalkan kebiasaan merokoknya. Lelaki separo baya itu merasa keberatan bila Lidya harus tugas ke Bengkulu sebagai dokter puskesmas.  Pramono lebih memilih  Lidya segera membantu papinya dalam mengembangkan konglomerasi Pramono Group. Pramonopun berambisi menempatkan Lidya, putra sulungnya sebagai staf direksi untuk menekuni manajerial di perusahaan besar milik papinya. Tapi apa mau dikata  Lidya lebih menyukai menjadi dokter di daerah terpencil, dengan alasan sebuah kepedulian dengan sesama dan ambisi untuk mendalami ilmu kedokteran. Dalam ambisinya yang mengental sekeras batu, Pramono akrab dengan Albert Harjo Wongso, direktur muda sekaligus putra mahkota Raja Baja Indonesia yang masih lajang. Meski Albert, seorang direktur yang usianya jauh di bawahnya, namun kemampuan dalam memanage perusahaan besarnya sungguh brillian. Terbukti dengan tangan diingin dan langkah strategis Albert mampu mengembangkan Wongso Group, yang bergerak di bidang jasa baja dari hilir hingga hulu. Dari ide ide cemerlang Albert inilah, Pramono memiliki ambisi untuk mengembangkan sayap Pramono Group, dan Lidya telah menjadi pilihan hatinya untuk menjadi central direksi di groupnya.

Sebersit ide cemerlang telah menghantui Pramono dari waktu ke waktu, untuk mempertemukan Albert dengan putri  sulungnya, guna melancarkan ambisinya sekaligus menyiapkan masa depan semua putra putranya. Namun hasrat itu telah sirna karena kehadiran Aldo, pria yang dianggapnya tidak punya visi hidup. Apalagi dengan rencana Lidya yang berambisi menjadi dokter puskesmas di Bengkulu.

“Lidya !, kamu sakit ?”. Dengan penuh kelembutan papanya menyapa Lidya di pagi hari yang sudah mulai dipenuhi sinar kuning mentari.

“Nggak pap !, Lidya hanya lagi tidak selera hari ini “

“Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?. Tuh lihat adik adikmu sarapan hari ini dengan penuh selera “. Papi Lidya berusaha menghibur Lidya, yang kini berada di tengah ke dua adiknya yang lahap menikmati sarapan paginya dengan nasi hangat dan ayam goreng yang dibumbui dengan saos tomat.

“Sudah ada kabar!, kapan kamu berangkat ke Bengkulu ?’

“Belum tahu pap, hari ini Lidya coba menanyakan surat tugasnya ke kementrian !”

6

“Kok belum selesai sih surat tugasnya ?”

“Nggak tahu!, pap. Lidya juga bingung! “            

“Lidya, mengapa mesti harus ke Bengkulu ?. Kalau kamu berambisi ingin jadi dokter yang sukses, mudah bagi papimu memasukan kamu ke Cipto sambil mengambil spesialis di UI. Pikirkan dulu, sebelum kamu ke Bengkulu “

“Iya, Lidya!, papi juga sependapat dengan mama. Kalau kamu tidak pengin membantu papa di perusahaan, ya OK lah !. Tapi mengapa harus ke Bengkulu ?”

“Piss mam, jangan ungkit ungkit lagi masalah itu . Nanti juga ujung ujungnya ke Albert, Lidya jadi pusing !”

“Lidya !, papa sama sekali tidak melarangmu ke Bengkulu, toh kalau naik pesawat dari Jakarta nggak ada 1 jam. Tapi apa kamu bisa tahan menghadapi tantangan di sana?. Kalau tugasmu di puskesmas daerah Jakarta papa tidak ambil pusing”

“Papa mama inginkan punya putra putra yang mandiri ?. Maka itu papa!,  Lidya hanya ingin belajar sebuah kemandirian dan makna hidup. Lidya masih ingat, sejak dari TK hingga sekarang Lidya berkubang dengan kecukupan apapun. Lidya ingin mandiri di tengah masyarakat desa yang terpencil, barangkali disanalah Lidya menemui makna hidup “

Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mama dan papanya, hanya peluk cium yang dia dapatkan dari kedua adik Lidya  yang minta pamit  berangkat sekolah. Lidyapun minta pamit pada mama dan papanya yang terkadang merasa kasihan sekaligus merasa kagum dengan visi hidup putra sulung mereka. Namun perasaan risau papanya masih saja bersemayam di dadanya. Mengapa perjodohan Albert dan putrinya belum menjadi kenyataan.

***

Mobil sedan warna merah metalik masih menderukan mesinya dan tak lama kemudian membisu. Lidya keluar dari mobilnya yang diparkir di halaman Genius Café tempat dirinya mangkal bersama sokib sokib lainya saat masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Sudah agak lama Lidya tidak menjenguk café itu, namun beberapa bartendernya masih jelas mengenalinya.

7

“Non Lidya, sekarang bertambah cantik, tapi kok agak kurusan sedikit “

“Makasih Icca, bagaimana kabar kamu. Masih betah kerja di sini ?”

“Aku baik baik Mba, ya habis mau kerja di mana lagi, mba. Ah disini juga lumayan mba ? bisa untuk membeli susu anaku “

“Oh kamu sudah marriage ya !. Selamat ya !”

“Makasih mba, oh ya Aldo juga nasih sering ke sini mba ?’ Icca tabpa sengaja mengabarkan tentang Aldo.

“Ngapain dia ke sini ?”

“Aku nggak tahu, mba. Tapi maaf ya mba ?”

“Ya ada apa ?”

“Ah nanti mba Lidya tersinggung, benar nih ?”

“Sure Icca !, aku nggak bakalan tersinggung. Aku dan Aldo kan sekarang hanya sahabat dekat saja “

“Aldo sekarang pacaran dengan Trisnani, katanya sih dia penyanyi. Tapi belakangan ini aku lihat Aldo nggak urakan seperti dulu, dan sebentar lagi katanya mereka mau marriage. Mba belum tahu kabar ini ?”

“Belum, ya makasih infonya ya Icc, aku ikut bahagia jika Aldo marriage dengan eh siapa saja”

Sesaat eksotis café di siang itu menjadi memudar bagi Lidya, setelah sebuah mobil Pajero warna hitam parkir di halaman depan. Mobil itu tidak lain adalah milik Aldo, yang tidak lama kemudian Aldo sudah berada di depan meja bartender, untuk memesan kopi dan Virgin Cake kesukaanya. Aldo pu terperanjat kaget melihat Lidya di sudut meja cafe itu dengan segelas besar air jeruk dan beberapa pengal roti untuk makan siangnya.

“Lidya, kamu sudah lama, bagaimana kabarmu ?”

“Baik baik saja Aldo, ngapain kamu disini. Bagaimana kabarmu Aldo?”


8

‘Aku baik baik saja, aku ke sini hanya sekedar membunuh waktu saja. Karena aku belum kerja. Kamu juga ngapain di sini ?”

“Aku mau ke kesehatan, tapi tadi lagi meeting, Jadi aku nunggu di sini”

“Ngapain ke kesehatan, Lidya ?”

“Aku mau mengambil surat tugas sekalian SK capeg. Aku ditugaskan di puskesmas terpencil di Bengkulu. Oh ya mumpung kita ketemu, aku pamit ke Bengkulu, sekaligius aku minta doamu semoga aku berhasil “

“Lidya, kamu memang sahabat yang baik hati. Tentu aku terus berdoa untuk sahabatku yang di Bengkulu. Lidya sering kabar kabar dong sa aku kalau ada apa apa ? Sama aku juga akan selalu memberi kabar sama kamu, mama dan papa”

“Aldo, aku dengar katanya kamu mau marriage?”

‘Aku belum berani ngasih kabar sama kamu, nanti deh kalau semuanya sudah OK. Kamu tidak ganti nomor hp kan ?”

Lidya hanya menggelengkan kepalanya, lantaran tidak mampu member jawaban degan lidah yang kelu, tenggorokan yang sesak dan seribu perasaan yang tidak menentu. Pria yang ada di depaya kini sama sekali tidak memberikan harapan baru lagi. Pria yang ditawan dalam tirai sutranya kini lepas bagaikan burung dmerpati yang lepas dari sangkarnya. Lidya tambah kokoh berniat pergi ke Bengkulu***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar